KEBUMEN, Kebumen24.com – SH Terate, atau Setia Hati Terate, merupakan salah satu perguruan pencak silat yang memiliki sejarah panjang dan penuh inspirasi. Didirikan pada awal abad ke-20, SH Terate telah menjadi bagian penting dari warisan budaya Indonesia, khususnya dalam bidang bela diri tradisional.
Masa perintisan SH Terate adalah periode yang sarat dengan tantangan, dedikasi, dan semangat juang para pendirinya.
1.MASA PERINTISAN
(Tahun 1922 – Tahun 1952 ) Tahun 1922
Cikal bakal Setia Hati Terate adalah Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC), perguruan pencak silat yang didirikan oleh Bapak Hardjo Oetomo, warga Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, pada tahun 1922.
Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Soerodiwirjo, pendiri aliran pencak silat Setia Hati (SH – lebih dikenal dengan nama SH Winongo), yang berpusat di Desa Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun).
Pada awal perintisan, SH PSC hanya berupa tempat latihan pencak silat yang diikuti oleh sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Pak Hardjo Oetomo. Berbekal ilmu pencak silat Djojo Gendilo Ciptomuljo, ciptaan Ki Ngabehi saat beliau berguru di SH Winogo, beliau mengumpulkan pemuda setempat untuk digembleng ilmu kanuragan.
Dokumen yang dimiliki KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, Ketua Umum Setia Hati Terate Pusat Madiun, menyebutkan, latihan pencak yang digelar Pak Hardjo Oetomo saat itu, secara implisit diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda.
Jiwa patriotisme yang berada di dalam dada beliau tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain. Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi, setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, beliau juga membuka tempat letihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret-Nganjuk, Pare-Kediri dan beberapa kota lain di Jatim.
Kajian data hasil penelusuran yang besumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Hardjo Oetomo, juga menyebutkan, beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia. Yakni, mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan.
Sebelumnya, ada kecenderungan ilmu pencak SH diajarkan kepada kaum bangsawan. Sebut misalnya, kerabat Bupati, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat bedarah biru atau kaum bangsawan.
Dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya memakai gelar Raden (R) di depan namanya. Misalnya, Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB), atau juga Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT).
Sejumlah dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka latihan dan mendirikan perguruan pencak silat “baru”. Yakni, terjadi silang pendapat cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.
Selain alasan tersebut di atas, Hardjo Oetomo tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada anak anak Belanda. Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah.
Ditengarai, lantaran keberanian Hardjo Oetomo membuka tempat latihan baru ini, beliau dan siswanya sempat diolok-olok sebagai kelompok “SH Murtad”. Artinya tidak setia atau ingkar.
Tahun 1924
Bapak Hardjo Oetomo baru memberi nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924, dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club. Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC. Itu setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan Amin Kuseri, seorang guru SR (sekolah rakjat) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.
Dalam buku hariannya itu, beliau menandaskan, sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, Kediri, pusatnya tetap berada di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.
Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan paternalisme (pola kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak atau pucuk pimpinan.
Selain dijadikan ajang olah kanuragan, SH PSC secara implisit diformat menjadi basis pelatihan dan pendadaran pemuda dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda.
Karenanya, meski baru seusia jagung, SH PSC diawasi ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Catatan singkat sejarah perjuangan Hardjo Oetomo, yang ditulis oleh istri beliau, Inem Hardjo Oetomo, disebutkan, pada tahun 1924, beliau ditangkap Belanda karena melakukan gerakan menentang Pemerintah Kolonial Belanda di Madiun dan dihukum selama 3 (tiga bulan). Hukuman itu dijalankan di Talang, Djember (Jember).
Berdasarkan catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara kolonialis beberapa bulan setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri. Keluar dari penjara Talang, Jember, ternyata semangat Hardjo Oetomo dalam gerakan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah kolonial Belanda semakin berang.
Tahun 1925, Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau, saat itu juga ikut ditangkap dan di bawa ke Bereau Velpolitie. Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interograsi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.
Selang tiga bulan berada di penjara Pemerintah Kolonial Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan peperintah kolonial di dalam penjara. Sidang mejelis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan, Hardjo Oetomo divonis hukuman penjara selama 5 tahun.
Vonis penjara 5 (lima) tahun itu dijalankan setelah Hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di Talang, Jember. Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara Talang, Jember ke penjara Tjipinang (Cipinang).
Dua tahun berada di dalam penjara Cipinang, Hardjo Oetmo, kembali melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah. Karenanya, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang (Sumatera).
Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven Digul. Tapi hukuman itu urung dijalankan karena dia sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Pandjang.
Catatan ringkas perjalanan SH Terate yang dibuat oleh Darsono Hardjendro (wakil ketua SH Terate di tahun 1948) , menyebutkan, sekembali dari penjara Padang Pandjang, kehidupan Hardjo Oetomo cukup menderita. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti berprofesi. Antara lain, menjadi mandor pabrik tenun, pukrul (pengacara). Bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media masa (surat kabar atau koran).
Surat kabar yang didirikan Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “KEINSYAFAN RAKJAT”. Di media ini belaiau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.
Tapi tidak lama kemudian, Mingguan KEINSYAFAN RAKYAT diberedel (dilarang terbit) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya, media itu dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.
Setelah upaya pemberedelan tabloid tersebut, gerak gerik Hardjo Oetomo terus diawasi. Bahkan, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango.
Mamasuki tahun 1938, kondisi phisik Hardjo Oetomo mulai menurun. Dia menderita sakit stroke dan separo badannya tak bisa digerakkan. Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah siswanya. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial atau team work mulai dikembangkan, guna mengisi kevacuman posisi tampuk pimpinan.
Tahun 1942
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 , SH PSC berganti nama menjadi Setia Hati Terate (SH Terate). Nama ini merupakan usulan Soeratno Sorengpati, tokoh perintis kemerdekaan dari Indonesia Muda, salah satu siswa SH Terate saat itu. Salah satu alasan yang mendasari pergantian nama itu, antara lain, agar SH PSC tidak lagi dicap sebagai pemberontak seperti pada zaman penjajahan Belanda.
Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yang dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era ini, masih tetap memakai konsep “paguron” (perguruan) pencak silat. Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, dalam hal ini Hardjo Oetomo.
Tahun 1948
Atas izin Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (musyawarah antar warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Soetomo Mangkoedjojo, Darsono, Soemadji, Badini dan Irsad. Saat ini beliau dalam kondisi sakit. Separo badannya tak bisa digerakkan.
Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan.
Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan danpenghargaan dari pemerintah Ri sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda.
Tahun 1952
Pada tanggal 12 April 1952 Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat dan jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.
Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsini. Baik istri maupun putra beliau, Harsono, saat buku ini disusun Th 2013, sudah wafat. Jenazah Harsono, putra Ki Hadjar dimakamkan di lokasi pemakaman yang sama.
Keberadaan Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron. Karena posisinya ini, beliau cukup disegani dan dihormati, murid-muridnya.Penghormatan itu kemudian diwujudkan dengan penghargaan, berupa julukan (gelar) “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bhs Jawa: “ajar” yang artinya pelatih atau pendidik, pengajar.). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya. Yaitu, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
SH Terate Masa Transisi
- SEJARAH SH TERATE
- MASA TRANSISI
(Tahun 1953 – Tahun 1980) Tahun 1953
Pasca wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo, kegiatan SH Terate diteruskan para siswanya. Jumlah anggota yang ikut bergabung, satu demi satu mulai bertambah searah perjalanan waktu.
Era kemerdekaan bergulir pelan tapi pasti dan kegiatan SH Terate yang pada masa kolonial diawasi dan dibatasi, ikut merdeka. Ruang gerak warga masyarakat dalam mengembangkan kreativitas, terbuka lebar. Belenggu kolonialisme tak lagi ada, berganti era harapan baru untuk berjuang demi mengisi kemerdekaan.
Sejalan dengan itu, mulai muncul pemikiran tentang format penataan program kegiatan. Posisi “guru” atau pemimpin SH Terate yang vakum setelah Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat, sudah selayaknya diisi.
Gagasan perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate yang pernah dibicarakan dalam konferensi di Pilangbango pada tahun 1948, semakin mengerucut. Puncaknya pada tanggal 13 September 1953, dengan digelarnya konferensi SH Terate Jl. Diponegoro No.45 Madiun, kediaman Bapak Soetomo Mangkoedjojo.
Konferensi SH Terate saat itu menelorkan sejumlah keputusan penting, antara lain:
Menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) SH Terate yang pertama. Mengangkat Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua SH Terate Pusat. Untuk menghargai jasa Hardjo Oetomo yang telah berjuang mendirikan perguruan pencak silat ini, SH Terate memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan Ki Hadjar. Istri beliau, Ibu Inem Hardjo Oetomo diposisikan sebagai Ibu SH Terate.
Sementara itu, untuk lebih mengefektifkan program latihan pencak SH Terate, Santoso dan Badini diangkat sebagai pelatih.
Mengapa langkah pembaharuan itu ditempuh? Alasannya, pertama agar SH Terate mampu mensejajarkan kiprahnya dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai komunitas yang melingkupinya.
Dengan adanya perubahan system komunikasi di tubuh SH Terate dari “paguron” atau “perguruan” menjadi organisasi yang bertumpu pada “sistem persaudaraan”, berarti gaung pembaharuan telah diluncurkan dan proses perubahan telah digelar. Yakni perubahan roh organisasi dari sistem tradisional ke sistem organisasi modern. Dengan konsep ini, kelak SH Terate diharapkan mampu menjawab tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Alasan kedua; agar SH Terate tidak dikuasai dan bergantung pada orang-perorang, sehingga kelangsungan hidup organisasi dan kelestariannya lebih terjamin. Meski roh organisasi sudah bergeser dari perguruan pencak silat berubah jadi organisasi persaudaraan, namun dalam konsepsi keilmuan (idealisme), tradisi paguron masih tetap dipertahankan. Ini mengingat bahwa SH Terate lahir dari akar budaya pencak silat yang tetap ngugemi prinsip prinsip patrialisme.
Lain kata, konsepsi demokratisasi lebih dikedepankan dalam penataan organisasi. Sementara dalam prosesi pewarisan keilmuan, tradisi paguron atau perguruan pencak silat masih dipegang teguh oleh tokoh tokoh SH Terate.
Dan ini, harus diakui, terus dipertahankan turun temurun, hingga era kepemimpinan RM Imam Kesoepangat dan era kepemimpinan KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE. Sebab berdasarkan kajian empiris, tradisi paguron ini justru merupakan roh yang memberikan kekuatan nilai nilai persaudaraan dan kesetia-hatian (ke-SH-an).
Terpilihnya Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Pusat SH Terate pada periode ini, merupakan pilihan yang tepat. Tomo dikenal sebagai tokoh yang cukup arif dan bijaksana. Sosoknya tinggi, tegap dan penampilannya berwibawa.
Beliau juga setia dan tegas dalam mengambil keputusan serta teguh dalam memegang prinsip. Satu lagi, pandangannya cukup luas dan terbuka. Beberapa sumber yang berhasil ditemui menuturkan, di balik sosok tinggi dan tegap yang dimiliki beliau, tersembunyi kesantunan kepada sesama.
Pitutur Luhur Soetomo Mangkoedjojo: Wong SH Terate kuwi, yen ana sedulure teka, mbuh bengi mbuh awan, bukakna lawang sing amba.Sebab tekane sedulurmu iku mau, jalaran saka tresna dan mesti ana wigati. (Warga SH Terate itu, jika ada saudaranya dating, entah itu siang entah malam, bukakan pintu lebar lebar.
Sebab kehadiran saudaramu itu karena dorongan rasa cinta, dan kehadirannya pasti membawa berkah). Nasihat ini disampaikan langsung oleh Soetomo Mangkoedjojo kepada Tarmadji, saat beliau bertamu malam hari ke rumah Mas Tarmadji.
Tahun 1956
Dalam tahun 1956, karena Soetomo Mangkoedjojo pindah tugas dari BRI Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin), jabatan Ketua SH Terate digantikan Irsyad. Sedangkan jabatan sekretaris dipegang Soedarsono.
Irsyad dikenal sebagai pendekar yang menguasai teknik beladiri cukup matang. Pada era kepemimpinan beliau ini, dilakukan penggalian teknik dan akurasi gerakan pencak silat. Beberapa gerakan jurus SH dicermati dan dikaji ulang. Gerakan, terutama pada serangan yang menurut keyakinannya lemah, dicoba untuk lebih diakurasikan.
Pendalaman, penelitian dan kajian yang dilakukan Irsyad ini, melahirkan sejumlah gerakan teknik yang kemudian dipakai untuk mengakurasikan beberapa gerakan jurus di SH Terate.
Pada saat Irsad menjadi ketua pusat, setelah beliau melakukan uji materi dan pendalaman akurasi jurus, lahir sejumlah temuan :
Beberapa gerakan jurus, sebut misalnya, Jurus 1 sampai dengan Jurus 4, diakurasikan. Terutama pada gerakan serangan.
Sebelumnya pukulan pada Jurus 1 adalah mbandul , diakurasikan menjadi menohok. Kemudian gerak colok yang semula hanya dengan dua jari, diakurasikan dengan lima jari yang dirapatkan hingga makin bertenaga.
Gerakan jurus lain yang disempurnakan adalah jurus delapan. Yaitu dengan perubahan pasangan nangkis dan tendangan dua kali.
Sementara untuk mendasari gerakan siswa SH Terate, Pak Irsyad menciptakan gerakan senam dari senam 1 (satu) hingga senam 90 (sembilan puluh).
Pada era kepemimpinan Pak Irsyad ini juga lahir keputusan penting lainnya. Yakni, penciptaan Kode Pendekar SH Terate. Beliau sendiri yang menciptakan. Salah satu alasan penciptaan Kode Pendekar, karena jumlah warga SH Terate saat itu sudah mulai banyak, sehingga di antara warga mulai tidak saling mengenal karena beda tempat latihan dan pengesahan.
Dengan Kode Pendekar SH Terate ini, seorang warga bisa melakukan deteksi secara akurat, apakah orang yang baru dikenal itu warga SH Terate atau bukan. Sambil berbasa basi, misalnya, dia secara diam diam memberikan Kode Pendekar SH Terate kepada orang yang baru dikenalnya.
Jika kode itu dijawab dengan tepat, berarti orang yang baru dikenalnya itu warga SH Terate. Sudah barang tentu, karena bertemu saudara seperguruan, kedua orang yang baru saling mengenal itupun berangkulan. Menyatu dalam rasa, seakan tak ada lagi sekat diantara mereka.
Selain itu, Kode Pendekar SH Terate juga bisa digunakan untuk mendeteksi, apakah seseorang yang mengaku sebagai warga SH Terate, benar benar warga atau bukan (warga awu awu alias bohong).
Kode Pendekar SH Terate yang diciptakan Pak Irsyad tersebut sampai sekarang masih digunakan dan diberikan kepada anggota SH Terate yang sudah disyahkan menjadi warga.
Penciptaan senam dan penyempurnaan jurus ini juga diyakini agar SH Terate tidak lagi diperolok sebagai “SH Murtad” oleh sekelompok orang yang merasa memiliki atau merasa sebagai ahli waris (trah) SH yang didirikan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.
Salah seorang murid Irsyad yang langsung menerima pelajaran senam 1 (satu) sampai dengan 90 (sembilan puluh) dan pendalaman akurasi jurus, adalah RM Imam Koesoepangat.
RM Imam Koesoepangat, lebih akrab dengan panggilan Mas Imam, mulai latihan SH Terate tahun 1953. Selama tiga tahun beliau berlatih di bawah asuhan langsung Irsyad. Boleh dibilang, pendalaman teknik dan akurasi jurus serta senam yang dilakukan pada era kepemimpian beliau diajarkan kepada Imam.
Imam disyahkan penjadi Pendekar SH Terate pada tahun 1958. Dalam perkembangannya, anak didik langsung Irsyad yang satu ini, muncul sebagai tokoh yang cukup diperhitungkan.
Tahun 1959
Tahun 1959,Imam, panggilan akrab RM Imam Koesoepangat, mulai melatih. Tarmadji (sekarang Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun) adalah anak didik langsung RM Imam Koesoepangat.
Menurut penuturan Tarmadji, beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih di depan siswanya, beliau cukup tegas, keras dan disiplin. Ucapan dan perilakunya konsisten. Jika bilang A maka yang beliau lakukan juga A.
Selama Madji (panggilan akrab Tarmadji) dilatih beliau, senam dan jurus yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus yang sampai sekarang diajarkan kepada siswa SH Terate. Sejak saat itu pula, gerakan yang diberikan kepada siswa SH Terate adalah gerakan senam dan jurus yang diberikan Irsyad kepada Imam, dan diturunkan kepada siswa beliau.
Dalam perkembangannya, senam dan akurasi jurus pada era Irsyad ini yang akhirnya dijadikan gerakan baku pencak silat SH Terate.
Tahun 1960
Pada kisaran tahun 1960 Irsyad mengakhiri masa jabatan sebagai Ketua SH Terate dan pindah tempat tinggal ke Bandung. Sebagai gantinya, Santoso, diangkat sebagai Ketua Pusat SH Terate.
Kesaksian Madji, pada tahun 1961 beliau sempat datang ke tempat Santoso. Saat itu digelar acara pengesahan warga baru. Santoso saat itu menjabat sebagai Ketua SH Terate. Pada pereode ini, sekalipun tetap ada pengesahan warga baru, namun jumlahnya relativ kecil.
Tahun 1961, Tarmadji berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo mengikuti pertandingan pencak silat seni dan keluar sebagai juara I se Jawa Timur untuk kategori kanak kanak. Prestasi ini kembali diraih pada tahun 1963, untuk kategori remaja.
Pada tahun 1963, untuk pertamakalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa). Syair Mars SH Terate digubah oleh RM. Imam Koesoepangat, sedangkan arensemennya dikerjakan Ady Yasco.
Saat itu Imam berpesan: Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, pemersatu bangsa Indonesia. Kalau Pancasila dirubah, Imam mengaku tidak rela dan akan mempertahankan bersama sama dengan pendekar SH Terate.
Tahun 1963
RM Imam Koesoepangat berhasil mengesahkan anak didik pertama. Yakni, Tarmadji (sekartang menjabat sebagai Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun), Abdullah Koesno Widjojo, Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung.
Dari kedelapan anak didik pertama Mas Imam ini, hingga buku ini ditulis tahun 2013, yang masih hidup tinggal dua orang. Mereka adalah, Tarmadji dan Soedibyo (tinggal di Jakarta).
Perlu ditegaskan lagi, Tarmadji adalah anak didik langsung Imam. Sejak latihan dan disyahkan, pelajaran pencak silat yang diterima dari Imam saat itu adalah pelajaran pencak yang sudah disempurnakan pada era Irsad. Yakni, senam 1 (satu) sampai dengan 90 (Sembilan puluh). Jurus yang sudah disempurnakan, pasangan, kemudian sambung persaudaraan.
Maknanya, sejak Imam melatih, hingga beliau memimpin SH Terate, yang diajarkan beliau adalah senam dan jurus baru. Sedangkan jurus lama tidak lagi digunakan. Sebab, seperti yang dipesankan Mas Imam kepada Madji, jurus Djoyo Gendilo Ciptomulyo itu miliknya SH Winongo.
Di sela sela pelajaran itu diberikan permainan kripen, permainan toya. Terakhir dididik kerokhanian atau kebatinan. Istilahnya ilmu “kang aweh reseping ati “ (ketenangan batin). Kemudian berkembang lagi ada pelajaran osdower.
Sementara itu, bagi saudara saudara kadang SH Terate yang mempelajari ilmu kebatinan dan kanuragaan, ibaratnya ngelmu amrih dibacok ora tedas (mempelajari ilmu kekebalan), ditembak lakak lakak (ditembak malah tertawa), tidak pernah dipermasalahkan, dengan catatan, ilmu yang dipelajari itu dipergunakan hanya untuk pengayaan keilmuan secara pribadi dan tidak memasukkannya ke kurikulum pelajaran keilmuan di SH Terate.
Masih di tahun 1963, ada peristiwa penting yang patut disampaikan dalam buku ini. Pasalnya, momen ini dipandang sebagai tonggak penguat perkembangan SH Terate. Yaitu, turunnya para pendekar SH Terate ke gelanggang Adu Bebas.
Gelanggang Adu bebas pada tahun enam puluhan merupakan even bergengsi, bagi pendekar persilatan di Madiun dan sekitarnya. Even ini merupakan arena pertandingan kelas laga dengan sistem full body contact (pertarungan antar pesilat tanpa pelindung).
Boleh di bilang even ini, merupakan ajang perkelahian para pendekar pilih tanding yang diatur dengan sistem pertandingan dan ditonton orang banyak.
Dulu, selain dijadikan ajang pamer kesaktian even yang digelar setahun sekali di halaman Karesidenan Madiun ini, juga dijadikan media promosi perguruan pencak silat untuk menggaet peminat. Fakta empiris, perguruan pencak silat yang berhasil memenangkan pertandingan, jumlah muridnya pasti akan semakin banyak.
Saat itu, RM Imam Koesopangat jadi jagonya SH Terate, disampingi Parno Ramelan danSudarso.
Di arena laga bebas itu Mas Imam berhadapan dengan Kyai Soekoco dari SH Tuhu Tekad, Sewulan, Dagangan. Seorang pendekar yang dikenal digdaya dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi jika dibanding Mas Imam. Selain itu, Kyai Soekoco ini juga dikenal pendekar pilih tanding dan berpengalaman serta beberapa kali memenangkan aven adu bebas.
Menurut Mas Madji, sebenarnya saat itu beliau juga berniat ikut turun ke gelanggang. Tapi Mas Imam tidak menghizinkan.Alasannya, usianya masih terlalu muda. Beliau hanya ditugasi membawa keris Kyai Luwuk, dan dipesan agar keris itu tidak pindah tangan selama Mas Imam bertanding.
Awalnya, sejumlah tokoh SH Terate meragukan kemampuan Mas Imam. Tapi terbukti beliau berhasil mematahkan keraguan saudara saudara SH Terate. Pada ronde ronde awal, laga berlangsung seru. Kedua pendekar itu bertanding cukup imbang. Beberapa kali tendangan dan pukulan Mas Imam mengenai tubuh Kyai Koco cukup telak. Tapi Kyai Koco, hanya menanggapi dengan senyum. Pertanda, Kyai Koco seorang pendekar yang kebal.
Memasuki ronde terakhir, Mas Imam berhasil mengunci tubuh Kyai Koco. Saat itu juga, Mas Imam berteriak agar wasit juri melakukan penghitungan. Meski, berupaya melepaskan diri dari kuncian, Kyai Koco tak berhasil. Akhirnya dewan juri memutuskan, pertandingan itu dimenangkan oleh Mas Imam.
Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun saat itu, beliau berpesan pada Mas Tarmadji, bahwa keikutsertaan beliau dalam dunia politik praktis dan menjabat sebagai Ketua Banteng Dwikora sudah masuk wilayah pribadi dan beliau sendiri tidak membawa SH Terate ke dalam pilihan ideologi politiknya.
Pada periode 1960 – 1965, bisa dikatakan sebagai masa sulit bagi perkembangan SH Terate. Sedikit sekali dokumen yang ditinggalkan pada masa ini. Malah bisa dikatakan langka. Secara umum juga diakui sebagai masa suram bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadinya pergolakan politik yang mengguncang stabilitas nasional.
Tahun 1966
Dokumen administrasi SH Terate menyebutkan, pada tanggal 11 Agustus, tahun 1966, digelar rapat pengurus pusat SH Terate di Madiun. Hasilnya, untuk menyelamatkan SH Terate, pasca terjadi peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, dipandang perlu melakukan refresing pengurus.
Refresing pengurus ini, berdasarkan Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I SH Terate Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA, tidak hanya dilakukan di pusat Madiun, akan tetapi juga dilakukan di cabang.
Pada tahun ini, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate. Sedangkan Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Bapak Harsono dan RM. Imam Koesoepangat.
Keputusan penting lain yang dihasilkan pada rapat pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari kepentingan politik praktis. Sementara, di sektor program pembinaan siswa, diangkat tiga orang untuk menduduki Dewan Pelatih SH Terate. Mereka adalah, Badini, Harsono dan RM.Imam Koesoepangat.
Tahun 1967.
RM Imam Koesoepangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), melakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar. Kecintaan beliau pada SH Terate mendorong Mas Imam meninggalkan kesenangan pribadi dan gemar melakukan tirakatan.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Imam meminta Tarmadji menjaga di depan pintu. Saat itu beliau berpesan kalau di hari ke-7 (tujuh) beliau tidak keluar, Tarmadji diminta mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam.
Tapat pada hari ake-7, Imam keluar kamar dengan kondisi sempoyongan. Dengan suara terbata bata, beliau meminta Mas Madji mencarikan air kunir asam untuk minum.
Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, beliau berkata, “ nJenengan eling eling Dik,njenengan titeni. mBenjingtiti wancine SH Terateageng Dik. Ning kula mboten memoni. Mbenjing sing nemoni Dik Madji. Sing mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron paguron liyane.( Kamu ingat ingat ya Dik. Kamu perhatikan.
Besok jika sudah sampai waktunya, SH Terate bakal berkembang pesat menjadi besar. Tapi saya tidak melihat. Besok yang melihat Dik Madji. Yang memimpin juga Dik Madji. SH Terate besar Dik, melebihi perguruan pecak silat lainnya).
Menurut Madji, beliau hanya diam mendengar ungkapan Mas Imam saat itu. Beliau tidak begitu paham apa maksud ungkapan Imam tersebut. “Saat itu, saya hanya berpikir Mas Imam berkata seperti itu hanya untuk membesarkan hati saya,” ujar Mas Madji.
Hari hari berikutnya, Madji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi ritual yang dikunjungi. Dari Segara Kidul (Laut Selatan), Harga Dumilah di Puncak G. Lawu hingga ke Gunung Srandil.
Namun terkait ini Madji menegaskan, laku tirakat atau tapa brata yang dilakukan RM Imam Koesoepangat, lebih ditikberatkan pada laku pribadi, sebagai pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam sendiri dan beliau juga tidak pernah memaksakan diri untuk memasukkannya ke kurikulum pelajaran di SH Terate.
Tahun 1968, Tarmadji berpasangan dengan Sutarto mengikuti seleksi Pra PON.Tahun berikutnya berhasil jadi Juara III PON VII.Sebelumnya juga berhasil meraih Juara I pada even pencak silat seni di Jember.
Tahun 1974
Pada tahun ini Soetomo Mengkoedjojo menyelesaikan masa bhakti sebagai Ketua SH Terate. Perkembangan SH Terate mulai melebar ke luar wilayah Madiun. Tercacat, (5) cabang didirikan. Antara lain: Magetan, Surabaya, Mojokerto, Yogyakarta, dan Solo.
Satu momentun penting yang dilahirkan pada priode kepemimpijan Soetomo Manghkoedjojo ini adalah proses pembaruan menuju perubahan yang lebih baik. Sebuah proses yang diakui menjadi pondasi perkembangan SH Terate, yang semula berbentuk perguruan menjadi organisasi persaudaraan.
Tahun 1974, digelar Konggres Persaudaraan Setia Hati Terate, di Madiun. Hasilnya, menjunjung tinggi konsep persaudaraan sebagai roh organisasi dan menjunjung tinggi nilai nilai persaudaraan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di intern SH Terate. Konggres juga sepakat:
Mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai ketua pusat dan Soetomo Mangkoedjojo sebagai dewan pusat.
Menjadikan kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan lewat wakilnya dalam setiap konggres.
SH Terate berikrar : Barang siapa mengganggu gugat Pancasila, seluruh Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate siap mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara RI, sampai titik darah penghabisan.
Pada tanggal 14 Desember tahun 1975, Soetomo Mangkoedjojo wafat.Jenazahbeliau dimakamkan di Tempat Pemakaman Cangkring, Kota Madiun. Lokasi makam ini sekitar 500 meter sebelah baratStadion Wilis Kota Madiun.
Tahun 1977
Pada tahun 1977, SH Terate kembali menggelar konggres di Madiun. Konggres ini menelorkan sejumlah keputusan. Antara lain, mengangkat Bapak Badini sebagai ketua SH Terate Pusat Madiun. Sedangkan RM Imam Koesoepangat menduduki jabatan Dewan Pusat. Pada periode ini, KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, mulai diserahi amanah untuk menduduki jabatan di jajaran ketua. Yaitu, sebagai Ketua I.
Saat itu, meskipun jabatan Ketua Pusat dipegang Badini, untuk urusan pengesahan warga baru Mas Imam selalu dipasrahi untuk memimpin acara. Badini dikenal sebagai seorang pendekar SH Terate yang berbakat dalam permainan tunggal (solospel).
Gerakannya cukup matang, luwes, indah dan berisi. Saat menjadi Ketua SH Terate, beliau masih tetap mau turun ke bawah, ikut melatih siswa maupun warga yang ingin menguasai permainan pencak seni SH Terate.
Saat Ir.Soekarno menjabat Presiden RI, Pak Badini dipanggil ke Istana untuk memperagakan pencak silat seni berpasangan dengan Hardjo Mardjut.
Tahun 1978
SH Terate sempat mengalami defisit kas organisasi. Bahkan punya tanggungan hutang. Berdasarkan kesepakatan pengurus pusat, Mas Tarmadji yang saat itu menjabat sebagai Ketua I, diminta mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini.
Mengemban amanat pungurus pusat Tarmadji mengajukan sejumlah langkah alternatif yang diyakini bisa dijadikan solusi. Salah satunya, pada tahun 1978, mengusulkan perubahan uang mahar pengesahan yang tadinya berupa uang logam yang sudah tidak laku (Ketengan atau Benggolan), menjadi uang laku yang digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Berdasarkan keterangan dari sejumlah tokoh SH Terate, dulu jika calon warga membutuhkan uang logam ketengan atau benggolan untuk mahar, mereka bisa mendapatkan dari Ibu Inem Hardjo Oetomo.
Caranya, menukar uang logam lama itu dengan uang baru yang berlaku. Selain digunakan untuk mendukung kegiatan SH Terate, hasil penukaran uang mahar itu juga digunakan untuk membantu kehidupan Ibu Hardjo Oetomo, sebagai bentuk penghargaan warga atas jasa beliau mendirikan perguruan pencak silat ini.
Usulan Tarmadji merubah uang mahar ini semula dianggap kontroversial dan memancing perdebatan di kalangan pengurus SH Terate Pusat. Banyak tokoh SH Terate kurang sependapat. Malah, beliau sempat dipanggil sejumlah tokoh SH Terate di Surabaya. Antara lain, Darmo Sanjoto, Ricard Wahyudi, Maryono dan Isoyo.
Ia diminta memberikan alasan atas usulan itu. Di hadapan tokoh tersebut, dijelaskan alasan mendasar kenapa beliau berani mengajukan usulan penggantian uang mahar dari yang tadinya berbentuk uang logam yang sudah tidak laku menjadi uang logam yang laku.
Alasan ini cukup mendasar. Sebab, SH Terate sudah memproklamirkan dirinya dari perguruan pencak silat tradisional menjadi organisasi modern. Dengan adanya kesepakatan ini, berarti SH Terate bukan lagi menjadi milik orang perorang, tapi milik anggota.
Karena SH Terate sudah berbentuk organisasi modern, maka organisasi harus bisa mandiri dan memiliki uang kas yang cukup untuk membiayai kegiatannya. Apalagi, tantangan ke depan, bukan semakin kecil tapi semakin besar. Kegiatan yang diprogramkan organisasi juga semakin banyak dan bercakupan luas.
Perihal santunan untuk membantu perekonomian keluarga mendiang Ki Hadjar Hardjo Oetomo, pihaknya bertanggung jawab penuh. Dan janji itu benar benar dilaksanakan. Tak hanya sewaktu Ibu Ki Hadjar masih hidup. Tanggung jawab menghargai jasa pendiri SH Terate itu juga terus dilakukan sepeninggal Ibu Ki Hadjar. Sebut misalnya, membiayai acara kirim doa, baik pada peringatan hari wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo maupun Ibu Ki Hadjar.
Alasan yang diajukan Tarmadji, terbukti mampu meyakinkan tokoh SH Terate. Sejak saat itu, uang mahar yang digunakan calon warga baru dalam prosesi pengesahan, diganti dari yang semula berupa uang logam lama yang tidak laku, menjadi uang logam yang berlaku.
Uang logam, sebagai uang mahar ini, tidak mutlak harus uang rupiah yang diberlakukan Pemerintah RI. Tapi dibolehkan pula uang logam lain, misalnya Dolar, Ringgit, Real dan lain sebagainya, disesuaikan dengan calon warga yang akan disyahkan.
Usulan tersebut, membawa dampak positif bagi perkembangan SH Terate. Bersumber dari uang mahar itu pula, sampai sekarang SH Terate bisa mandiri dan mampu membangun Padepokan Agung SH Terate di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Kota Madiun, berikut sarana dan prasarananya.
Karena posisinya yang cukup strategis sebagai sumber pemasukan kas organisasi, hingga saat ini SH Terate Pusat Madiun menghimbau kepada cabang agar menyetor uang mahar ke pusat setiap mengesahkan warga baru.
Sebab uang mahar adalah uang pitukon siswa yang menimba ilmu di SH Terate. Artinya, uang mahar adalah milik organisasi dan menjadi hak mutlak pusat sebagai pemegang hak paten SH Terate. (Kajian pendalaman tentang Uang Mahar, insya Allah, akan kami tulis dalam buku tersendiri,pen)
Pada tahun 1979 digelar Krida Nasional SH Terate Cup I di Madiun. Keluar sebagai Juara Umum dalam even pencak silat antar atlet SH Terate ini, Persaudaraan SH Terate
Cabang Surakarta. Laga pesilat SH Terate ini kembali digelar pada tahun 1981 di Surakarta. Hasil Krida Nasional SH Terate Cup II yang dibuka Pangdam VII Diponegoro ini, melejitkan atlet SH Terate dari Cabang Ngawi, sebagai Juara Umum.
Pitutur Luhur Badini : Yen awakmu latihan pencak silat seni SH Terate, kudu titi lan temen. Aja ngeyelan, kareben tumomo lan tumanja. Sakliyane kuwi, kudu mateng anggonmu main jurusan. (Jika kamu ingin berlatih pencak silat seni SH Terate, harus cemat dan sungguh-sungguh, jangan suka membantah. Disamping itu, kamu harus matang menguasai jurus).
Sumber : shterate.or.id
Eksplorasi konten lain dari Kebumen24.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.