KEBUMEN, Kebumen24.com – Dalam lembaran sejarah pers Indonesia, nama Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo tercatat dengan tinta emas. Lahir di Blora pada tahun 1880 dan wafat pada 1918, ia bukan sekadar seorang wartawan, melainkan pelopor, pemikir, dan pejuang yang memanfaatkan media sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme. Tirto Adhi Soerjo diakui luas sebagai Bapak Perintis Jurnalistik Nasional.
Tirto hadir di masa ketika kata-kata bisa lebih tajam dari peluru. Di tengah dominasi kolonial Belanda yang membungkam suara-suara pribumi, Tirto tampil berani dengan menjadikan pers sebagai mimbar rakyat. Ia tidak menulis untuk menyenangkan penguasa, tetapi untuk membangunkan rakyat dari tidur panjang penjajahan.
Salah satu warisan terbesarnya adalah pendirian surat kabar Medan Prijaji pada awal abad ke-20. Media ini bukan sekadar sumber informasi, tetapi menjadi ruang aspirasi kaum bumiputera. Medan Prijaji membawa semangat perlawanan dan kebangkitan, menjadi wadah bagi kaum cendekia untuk bersuara, dan memberi keberanian pada rakyat untuk menuntut hak-haknya.
Tirto Adhi Soerjo memaknai jurnalistik bukan hanya sebagai profesi, tetapi sebagai pengabdian moral dan intelektual. Ia memadukan kerja jurnalistik dengan gerakan kebangsaan, menjadikan tulisannya sebagai alat pembebasan. Dalam tulisannya, ia kerap menyoroti ketimpangan sosial, diskriminasi rasial, dan ketidakadilan hukum yang menimpa kaum pribumi.
Tidak heran jika banyak sejarawan menyebut Tirto sebagai tokoh pertama yang mengintegrasikan aktivisme pers dengan perjuangan politik kebangsaan. Ia menjadi contoh bagaimana jurnalis bisa menjadi agen perubahan sosial, dan media massa bukan hanya cermin peristiwa, tetapi juga penggerak sejarah.
Atas jasa-jasanya yang luar biasa, Pemerintah Indonesia menganugerahkan Tirto Adhi Soerjo gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2006. Namanya juga kerap disinggung setiap peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari—bertepatan dengan hari kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1946. Penetapan ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985.
Hari Pers Nasional bukan sekadar seremoni, tetapi momen refleksi atas peran penting pers dalam sejarah bangsa—sejak masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, hingga era reformasi. Dan di balik refleksi itu, sosok Tirto Adhi Soerjo selalu menjadi sumber inspirasi: jurnalis yang tidak hanya menulis fakta, tapi juga membela kebenaran dan martabat manusia.
Lebih dari seratus tahun setelah kepergiannya, semangat Tirto masih menyala dalam denyut jurnalistik Indonesia. Ia meninggalkan warisan besar: bahwa media bukan semata industri, melainkan medan juang untuk keadilan, kemerdekaan, dan kemanusiaan.
Sementara itu, dilansir dari Kompas.Com, Tirto Adhie Soerjo adalah tokoh pers Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pers Nasional. Tirto lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880 dengan nama kecil RM Djokomono.
Dia merupakan putra dari Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro dan cucu dari Raden Mas Tumenggung Tirtonoto.
Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Kebudayaan, disebutkan sebagai seorang priyayi, Tirto tidak melanjutkan pendidikan di bidang pemerintahan, namun justru meneruskan sekolah dokter di Stovia, Batavia pada 1893-1900.
Tirto awalnya merantau ke tanah Betawi karena hendak melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS). Selepas HBS, Tirto muda diterima di sekolah dokter bumiputra, yaitu School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (Stovia). Namun, alih-alih menjadi dokter, Tirto malah tertarik dengan dunia tulis-menulis.
Kala itu, dirinya sudah sering mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu, sebut saja Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, dan Pembrita Betawi. Surat kabar terakhir menjadi tempat berkarier Tirto dan sempat menjadi redaktur dalam waktu singkat.
Di surat kabar itu, Tirto mendapatkan pelajaran langsung dari jurnalis senior dan pemimpin redaksi Niews van den Dag. Dari penulisan berita, mengelola penerbitan, hingga belajar hukum untuk bisa menghantam kolonial.
Karier jurnalistik
- Di bidang jurnalistik kiprahnya dimulai pada tahun 1901. Ketika itu ia memimpin surat kabar hang dibuatnya sendiri, Soenda Berita.
- Surat kabar buatan Tirto menjadi surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh pribumi.
- Tidak berhenti di Soenda Berita, Tirto kembali mendirikan koran mingguan yang diberi nama Medan Prijaji pada 1909.
Sumber referensi: Detik.com dan kompas.com
Eksplorasi konten lain dari Kebumen24.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.