ARTIKELSEJARAHSENI BUDAYA

Desa Peniron Pejagoan Kebumen: Sepenggal Sejarah, Alam, dan Warisan Budaya di Lembah Luk Ula

6578
×

Desa Peniron Pejagoan Kebumen: Sepenggal Sejarah, Alam, dan Warisan Budaya di Lembah Luk Ula

Sebarkan artikel ini
Foto : Lahan Desa Peniron (Sumber Website desa peniron)

KEBUMEN – Di antara lekuk perbukitan dan derasnya aliran Sungai Luk Ula, berdirilah sebuah desa yang menyimpan sejarah panjang dan kaya akan warisan budaya: Desa Peniron. Terletak di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, desa ini tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga jejak-jejak sejarah yang mengakar kuat dalam kehidupan warganya hingga hari ini.

Jejak Langkah Leluhur di Peniron

Awal mula berdirinya Desa Peniron dapat ditelusuri hingga pertengahan abad ke-16, ketika seorang tokoh bernama Kuwu Kalipancur—yang dikenal juga sebagai Eyang Kalipancur atau Kiai Patrabaya—mendirikan sebuah pemukiman kecil. Ia adalah sosok penting yang kemudian menurunkan para pemimpin desa awal seperti Ki Jagapatra, Ki Raksanala, Ki Jagawangsa, dan Ki Patranala.

Dalam cerita tutur masyarakat, pada masa geger Trunajaya, Eyang Kalipancur menikahi saudara dari Nyi Trunajaya, keturunan Pangeran Condong dari Kajoran. Keturunan mereka selanjutnya menikah dengan tokoh bernama Ki Drapaita, yang juga dikenal sebagai Demang Honggodiwongso, seorang bangsawan dari Kutowinangun. Seiring dengan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Jawa, desa ini menjadi bagian dari narasi besar berdirinya Kebumen, yang konon berkaitan dengan tokoh Mataram: Pangeran Arya Bumidirja atau Ki Bumi.

Kisah perjalanan Peniron berlanjut di abad ke-18, ketika sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan lebat. Seorang ulama pejuang bernama Eyang Rohmanudin datang membuka hutan dan mengubahnya menjadi kawasan permukiman. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Umum Istana Gede, Dukuh Krajan. Nama-nama besar seperti Ki Drapasuta (Kyai Djojotaroeno), Ki Surenggodo Ronodiwiryo, dan para Glondong (pemimpin desa zaman dahulu) seperti Mbah Udadiwangsa dan Mbah Ronoredjo menjadi bagian dari sejarah panjang desa ini.

Menariknya, dari silsilah kepemimpinan desa, tercatat bahwa salah satu keturunan pemimpin desa lama adalah Letjen (Purn.) Edi Nalapraya, seorang tokoh nasional yang pernah memimpin Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Sejarah kepemimpinan Desa Peniron pun terus berlanjut hingga kini di bawah kepemimpinan Kepala Desa Triyono Adi, yang menjabat untuk periode 2019–2025.

Lanskap dan Potensi Alam

Secara geografis, Desa Peniron memiliki bentang alam yang unik—terbagi antara dataran rendah dan perbukitan, dengan ketinggian antara 60 hingga 400 meter di atas permukaan laut. Di bagian tengah mengalir Sungai Cungkup yang berhulu di Bukit Paduraksa, sedangkan Sungai Luk Ula melintasi bagian timur desa, menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar.

Di utara, hamparan Perbukitan Brujul-Paduraksa menyajikan pemandangan menawan dengan puncak-puncaknya seperti Bukit Brujul dan Bukit Gandong. Di sisi selatan, Perbukitan Pranji berdiri kokoh, dilalui sungai-sungai seperti Klantang dan Sibango. Wilayah desa berbatasan dengan Kecamatan Karanggayam dan Karangsambung, serta desa-desa lain seperti Kebagoran, Pengaringan, dan Watulawang.

Potensi wisata alam di desa ini sesungguhnya besar. Brujul Adventure Park dan Taman Banyu Langit adalah dua destinasi yang bisa dikembangkan lebih jauh. Namun, tantangan masih menghadang, khususnya dalam hal kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan wisata desa yang masih belum optimal.

Adat dan Tradisi: Ruwat Dadung, Simbol Harmoni dengan Alam

Desa Peniron tidak hanya kaya akan sejarah dan alam, tetapi juga memiliki tradisi budaya yang masih lestari hingga kini, salah satunya adalah ritual Ruwat Dadung. Ruwatan ini merupakan warisan dari tradisi spiritual Jawa kuno yang berakar pada kepercayaan animisme, Hindu-Buddha, hingga adaptasi nilai-nilai Islam pada masa Walisongo.

Secara harfiah, ruwat berarti membersihkan atau membebaskan dari pengaruh buruk. Dalam konteks Desa Peniron, Ruwat Dadung khusus dilakukan untuk hewan ternak dan alat-alat peternakan, sebagai bentuk permohonan perlindungan dari penyakit dan gangguan tak kasat mata. Ritual ini mencerminkan keseimbangan antara manusia dan alam, serta upaya spiritual masyarakat dalam merawat apa yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Tokoh-tokoh Islam pada masa Islamisasi Jawa tidak menghapus praktik ruwatan, melainkan mengislamisasikannya dengan mengganti mantra dengan doa dan zikir. Hal ini menunjukkan betapa lenturnya budaya Jawa dalam menerima unsur-unsur baru, tanpa kehilangan jati dirinya.

Lebih dari sekadar ritual, ruwatan menjadi medium edukasi moral dan budaya, bahkan hiburan rakyat yang mempererat hubungan antarwarga. Melalui ruwatan, masyarakat Peniron mengekspresikan keyakinan bahwa kesialan bisa diubah dengan usaha dan doa—sebuah filosofi hidup yang sangat Jawa.

Penutup

Desa Peniron adalah contoh nyata bagaimana sejarah, alam, dan budaya bisa berpadu menjadi identitas yang utuh dan bernilai tinggi. Dari cerita leluhur hingga perbukitan hijau, dari ritual ruwatan hingga cita-cita wisata desa—semuanya merepresentasikan wajah masyarakat yang teguh menjaga akar, tetapi tetap membuka diri pada masa depan.

Maka, bukan hal yang berlebihan jika Peniron disebut sebagai “permata tersembunyi” di balik belantara sejarah dan bukit-bukit Kebumen. Ia menunggu untuk ditemukan, dikenali, dan dikembangkan oleh mereka yang menghargai warisan, serta berani merajut harapan baru di atas tapak para leluhur.

 Sumber dan Penulis: Rasiman Perangkat Desa Peniron


Eksplorasi konten lain dari Kebumen24.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.