SEJARAH

Asal usul Nama Desa Balingasal Padureso Kebumen, Tongkat Sunan Kalijogo Tumbuh Jadi Pohon Jati

2044
×

Asal usul Nama Desa Balingasal Padureso Kebumen, Tongkat Sunan Kalijogo Tumbuh Jadi Pohon Jati

Sebarkan artikel ini
FOTO DESA BALINGASAL (DOK:DESA BALINGASAL)

KEBUMEN, Kebumen24.com –  Desa Balingasal, yang terletak di Kecamatan Padureso, Kabupaten Kebumen, memiliki sejarah panjang dan menarik yang mencerminkan perjalanan budaya dan perkembangan masyarakat setempat. Desa ini dikenal tidak hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena warisan sejarah yang kaya.

Dikutip dari laman resmi website Desa Balingasal menceritakan, sebenarnya tidak ada sumber pasti, namun menurut cerita dari beberapa sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dimana, ada masa Kerajaan Islam atau Kesultanan Mataram sekitar tahun 1600-an

Kala itu, Sultan Mataram mengutus seorang pesyiar agama bernama Sunan Kalijogo yang dalam mensyiarkan agamanya selalu membawa tongkat sebagai ciri khasnya. Sunan kalijogo membawa dua orang murid, yang pertama Sunan Jati dan kedua Sunan Geseng.

Sunan Jati merupakan salah satu murid Sunan Kalijogo yang ditugaskan untuk mesyiarkan agama islam ke daerah barat.

Setelah melewati pejalanan panjang Sunan kalijogo bersama muridnya Sunan Jati tiba di daerah hutan belantara, dan beristirahat di tepi sungai yang sangat besar sekali. Tidak lama kemudian setelah beristirahat Sunan Kalijogo menancapkan tongkatnya dipinggir aliran sungai yang besar yaitu aliran Sungai Bengawan.

Di daerah hutan itu masih jarang ada penduduk yang bertempat tinggal disana dan hanya berapa orang yang bisa ditemui di daerah tersebut. Pada umumnya mereka masih menganut agama hindu.

Setelah selesai beristirahat dan akan melanjutkan perjalanannya Sunan Kalijogo mengambil tongkatnya yang ditancapkan, bekas tancapan tongkatnya ternyata tumbuh tunas pohon jati.

Setelah sekian lama pohon jati tersebut tumbuh menjadi sangat besar dan tinggi. Dengan adanya kejadian yang langka ini maka masyarakat setempat akhirnya menamakan daerah tersebut menjadi nama Jatiteken.

Jatiteken itu sendiri diambil dari kata jati yang artinya pohon jati, dan teken yang berarti tongkat. Pohon jati tersebut tumbuh di pinggir Sungai Bengawan yang sangat deras alirannya sehingga lama kelamaan terkikislah tanah di sekitar pohon jati.

Sampai suatu ketika pohon jati tersebut roboh dan terbawa arus Sungai Bengawan dan entah kenapa pohon jati tersebut kembali lagi ke asalnya atau pokolnya. Saat itu pernah beberapa kali pohon jati terbawa arus sungai yang deras tetapi tetap saja pohonnya selalu kembali ke tempat tumbuh semula.

Maka di tempat tersebut terdapat petilasan Sunan Kalijogo yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar. Dilihat dari kejadian seringnya pohon jati yang terbawa arus dan selalu kembali lagi ke tempat awal tumbuh. Disinilah asal mulanya nama Balingasal.

Bali yang artinya kembali dan ngasal yang berarti asal yakni kembali keasalnya. Sekitar tahun 1700-an terbentuk suatu tempat yang bernama Balingasal namun pada saat itu belum dijadikan pemerintahan desa.

Aliran Sungai Bengawan bersumber dari mata air Gunung Kembang Wadaslintang, Wonosobo. Di masa itu Sungai Bengawan sangatlah luas dan aliran arusnya sangat deras. Konon katanya di Sungai Bengawan mempunyai penjaga sungai atau ili-ili (merawat sungai). Penjaga tersebut diketahui bernama Mbah Begawan.

Sungai Bengawan melewati Wadaslintang, Sendangdalem, Rahayu, Jatiteken, Bleber, Kabuaran, Korowelang, dan sampai pantai selatan. Seiring dengan berjalannya waktu Sungai Bengawan terus terkikis lalu mengecil dan saat ini Sungai Bengawan dikenal atau ganti nama menjadi Sungai Bleber.

Dilihat dari sejarah bahwa ada kaitannya antara Sunan Kalijogo dan Sungai Bengawan. Maka dari itu di Balingasal juga terdapat makamnya Mbah Begawan yang masih dilestraikan dan dirawat oleh masyarakat. Sebelum nama Desa Balingasal ada, pada tahun 1850-an terdapat empat wilayah kecil yang mempunyai pemerintahan masing-masing.

Diantaranya wilayah Kenayan, Pepedan, Kalapacung, Bleber, Jatiteken.Wilayah kenayan dengan kepala pemerintahan atau Pak lurahnya bernama Mbah Mentayuda yang berakhir tahun 1875-an.

Dinamakan Kenayan karena sawae mung sak eyan (lahan sawahnya cuma sedikit). Geografis tanah wilayah Kenayan terdiri dari sawah dan lahan yang sangat kecil. Wilayah Pepedan dengan kepala pemerintahnya yang pertama atau Pak lurahnya Mbah Pringga Yudha yang berakhir sekitar tahun 1875-an.

Dinamakan wilayah Pepedan karena wilayahnya pating slempit (saling terjepit). Di masa pemerintahan sebelum penggabungan, lurah Pepedan yang terakhir yaitu Mbah Pringga Wangsa sekitar 1900-an.

Geografis wilayah Pepedan kebanyakan lahan tanah dan sedikit sawah. Wilayah Kalapacung dengan kepala pemerintahnya atau lurah pertama Dul Sujak, beliau wafat di tanah suci mekkah saat melaksanakan ibadah haji sebelum masa pemerintahnya berakhir dan pemakamannya pun di tanah suci.

Dinamakan wilayah Kalapacung karena seneng rebutan itung (senang berebut hitung). Geografis wilayahnya kebanyakan tanah tegalan. Wilayah Bleber dengan kepala pemerintahan atau lurah saat itu yang pertama bernama Klentheng yang berakhir massa pemerintahannya sekitar 1900-an.

Beliau merupakan satu-satunya lurah perempuan saat itu dan tidak mempunyai keturunan. Asal usul Bleber di jaman peperangan seringnya di uber-uber meng penjajah (di kejar-kejar oleh penjajah).

Wilayahnya terbagi menjadi dua yakni Bleber Gunung (atas) dan Bleber Jurang (bawah). Geografisnya wilayahnya sedikit sawah, ada sungai dan tegalan. Wilayah Jatiteken dengan kepala pemerintah  atau lurah pertama bernama Mbah Wirakerta yang berakhir sekitar tahun 1900-an.

Wilayah paling luas diantara pewilayahan lainnya. Saat ini wilayah Jatiteken dibagi menjadi dua yaitu Jatiteken Wetan (Timur) dan Jatiteken Kulon (Barat). Geografis wilayahnya terdiri dari hutan, dataran tinggi, dan satu satunya yang tidak mempunyai lahan sawah. Pada tahun 1901 baru ada pemblengketan atau penyatuan diantara 5 perwilayahan menjadi nama Desa Balingasal yang secara resmi disepakati oleh kelima wilayah tersebut.

Nama Desa Balingasal diambil dari sejarah terbentuknya tempat Balingasal. Kepala desa pertama saat itu glondong (lurah yang sudah menjabat berkali-kali) bernama Cohdwiryo menjabat dari tahun 1901 sampai dengan 1922.

Pada saat itu Desa Balingasal terdiri dari enam wilayah perkadusan yang masing masing mempunyai kepala wilayahnya bernama bayan atau kadus. Diantara enam wilayahnya yaitu untuk pewilayahan

  1. Dusun kenayan, pewilayahan
  2. Dusun Pepedan, Pewilayahan
  3. Dusun Jatiteken Wetan, pewilayahan
  4. Dusun Jatiteken Kulon, pewilayahan
  5. Dusun Bleber dan pewilayahan
  6. Dusun Kalapacung.

Pada tahun 1922 awal mula pemilihan lurah di Desa Balingasal dengan cara tongkrongan (duduk dibelakang jago atau calon lurah). Saat itu ada 3 calon lurah, diantaranya Sumodwiryo, Mbah Pariareja, dan Mbah Yaman.

Kemudian pemilihan tersebut dimenangkan oleh Sumodwiryo. Sumodwiryo merupakan putra dari mbah Cohdwiryo. Jabatan Mbah Sumodwiryo berakhir sekitar tahun 1948. Sesudah itu diadakan pemilihan lagi kepala desa dengan sistem jiting (lidi yang dipotong kecil-kecil).

Setiap pemilih memasukkan jiting ke dalam botol milik masing-masing calon kepala desa. Saat itu dimenangkan oleh Mbah Kadirin dan kepemimpinnya berakhir pada tahun 1980-an. Kini Desa Balingasal memiliki tatanan pemerintah yang baik dan sistematis. Sampai sekarang sudah ada 7 kepemimpinan di Desa Balingasal.

  • Pertama Sahroni yang memimpin dari tahun 1980-1994
  • Kedua Misran Fauzi yang memimpin dari tahun 1994-2002
  • Ketiga Ruminah yang memimpin dari tahun 2002-2004
  • Keempat dan Kelima Sumarno memimpin selama dua periode dari tahun 2004-2014
  • Keenam Priyatini yang memimpin dari tahun 2014-2019
  • Ketujuh Manang dari tahun 2019 sampai sekarang.

Begitulah sejarah singkat terbentuknya Desa Balingasal. Sejarah lokal ini sudah sepatutnya dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat dan generasi muda, karena sejarah di lingkungan sekitar akan menumbuhkan rasa bangga dan cinta akan budaya masa lalu di suatu daerah.

Harapannya dengan mengetahui sejarah, generasi muda juga bisa mendapatkan pengetahuan masa lampau yang dijadikan sebagai referensi ke depan.

Sebagai generasi muda juga dituntut agar terus melestarikan sejarah sebagaimana kata Bung Karno yang terkenal “Jas Merah” jangan sekali-kali lupakan sejarah.

Narasumber:

  1. Mbah Sohib
  2. Maulana Azis
  3. Mbah Kambari

Sumber : https://balingasal.kec-padureso.kebumenkab.go.id


Eksplorasi konten lain dari Kebumen24.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.