KEBUMEN, Kebumen24.com – Seni wayang telah menjadi salah satu warisan budaya yang paling ikonik di Indonesia. Dengan karakter-karakter yang memukau dan cerita-cerita yang kaya akan makna filosofis, wayang tak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pelajaran hidup yang mendalam. Salah satu aspek menarik dari wayang adalah filosofi yang terkandung di dalamnya, yang sering kali berhubungan erat dengan ajaran-ajaran sufi.
Wayang, yang berasal dari kata “mawayang” yang berarti bayangan, adalah seni pertunjukan tradisional yang telah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Awalnya, wayang digunakan sebagai media untuk menyampaikan ajaran agama dan moral kepada masyarakat. Seiring berjalannya waktu, wayang berkembang menjadi bentuk hiburan yang juga mengandung pesan-pesan filosofis.
Dilansir dari situs kebumen2013.com menyebutkan, wayang adalah gambaran atau bayangan yang didalamnya mencerminkan kehidupan manusia. Meskipun didalamnya banyak sekali tokoh dan lakon, akan tetapi sesungguhnya wayang itu adalah gambaran kehidupan pribadi setiap manusia.
Dimana manusia tidak akan pernah lepas dari kodratnya sebagai makhluk yang terbungkus oleh nafsu yang baik yang disimbolkan dengan Pandawa dan nafsu yang buruk yang disimbolkan dengan Kurawa. Kedua nafsu tersebut akan selalu berhadapan yang disimbolkan dengan Bharatayuda/ Brantayudha (perang Bharata/ perang Batin).
Satu hal pokok yang diabaikan adalah bahwa wayang merupakan cerita yang mengandung unsur pendidikan dan simbol- simbol kehidupan yang tersirat dan oleh pengarangnya divisualisasikan melalui tokoh-tokoh dalam cerita layaknya kehidupan nyata.
Secara filosofi, Mahabharata dan kisah pewayangan lainnya sebenarnya merupakan gambaran kehidupan kita sebagai manusia baik gerak fisik, batin, maupun ruhani, yang dimulai dari awal hingga akhir. Satu lakon yang merupakan inti dan final dari perjalanan hidup kita sebagai manusia yang digambarkan dalam Mahabharata adalah lakon yang berjudul “Perang Bharata (Bharatayuda/ Brantayudha)”.
Perang Bharata adalah perangnya Pandawa sebagai tokoh yang baik dan Kurawa sebagai tokoh yang jahat, dimana Pandawa dan Kurawa merupakan saudara. Sesunguhnya kisah ini terdapat dalam diri kita masing-masing pada saat kita mengalami kesadaran sebagai manusia seutuhnya (insan kamil), saat dimana kita sadar baik cipta, rasa, maupun karsa, lahir, batin, dan ruhani kita terhadap suatu sikap yang akan kita ambil dalam kehidupan yang selalu berada dalam dua pilihan yakni baik dan buruk.
Untuk memahami tentang Mahabharata yang berarti juga memahami diri kita sendiri kita harus masuk ke dalam kisah ini dengan sedetail – detailnya. Langkah pertama marilah kita mengupas apakah Mahabharata itu, Kemudian siapakah tokoh-tokoh intinya dan lakon – lakon inti yang merupakan kunci untuk menemukan maksud dari kitab ini.
Mahabharata berasal dari dua kata yakni, Maha dan Bharata.
Maha berarti besar, sedangkan Bharata berarti kesatria atau Luhur.
Dari dua kata tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Mahabharata berarti kesatria yang besar atau keluhuran yang besar, maka dapat kita artikan juga bahwa inti dari dari Kitab Mahabharata adalah suatu kitab yang berisi ajaran bagaimana untuk menjadi seorang manusia yang bersifat kesatria yang besar dan luhur.
Tokoh – tokoh inti dalam Mahabharata antara lain :
- Pandawa
- Kurawa
- Punakawa
- Dewa-dewa
- Pandawa
1.PANDAWA
Kita telah mengenal tentang Pandawa, dimana mereka adalah sekelompok tokoh yang baik, terdiri dari lima bersaudara yaitu, 1. Puntadewa (tertua), 2. Bima (Werkudara), 3. Arjuna, 4. Nakula, 5. Sadewa.
Lazimnya di dalam masyarakat kita kelima tokoh tersebut berdiri sendiri-sendiri sebagai individu-individu yang hidup. Satu hal pokok yang diabaikan adalah bahwa wayang merupakan cerita yang mengandung unsur pendidikan dan simbol-simbol kehidupan yang tersirat dan oleh pengarangnya divisualisasikan melalui tokoh-tokoh dalam cerita layaknya kehidupan nyata.
Untuk mengkaji tentang tokoh-tokoh Pandawa yang sebenarnya merupakan gambaran dari sifat-sifat baik dalam diri manusia, maka kita harus mengupasnya dimulai dari urutan yang terkecil menuju urutan yang terbesar dengan kata lain kita bahas mulai dari Sadewa hingga Puntadewa.
Sadewa
Sadewa adalah Pandawa bersaudara yang paling kecil. Sadewa mengandung makna filosofi sifat menyerupai dewa. Hal ini mengandung makna bahwa kita sebagai manusia paling banyak berada dalam kondisi merasa bisa, merasa paling, merasa unggul sehingga terkadang dari keadaan tersebut muncullah sifat sombong, ingin dihormati, dan sejenisnya.
Sifat ini sangat manusiawi. Posisi sifat batin manusia dalam tingkatan Sadewa merupakan posisi terendah.
Nakula
Nakula adalah kakak dari Sadewa. Nakula mengandung makna saya. Kula dalam bahasa jawa berarti saya akan tetapi bahasa yang santun dan rendah hati. Ini berarti keakuan dalam diri manusia yang tadinya merasa paling kini telah berubah setingkat lebih luhur, menjadi sifat kesadaran manusia yang merasa dirinya kecil dan masih ada yang lebih diatasnya.
Hal ini disimbolkan dalam kata kula (Bahasa Jawa Kromo untuk menyebutkan identitas diri secara santun).
Arjuna
Arjuna adalah kakak Nakula. Aijuna berasal dari kata Her yang berarti air bening atau wening atau wingit atau ghaib. Dan Jun yang berarti tempat. Arjuna dapat simpulkan sebagai keadaan batin manusia yang telah dapat menjadi tenang, hening, dan bijaksana.
Pada posisi ini manusia telah sadar akan hakekatnya sebagai makhuk hidup yang sempurna sehingga tindak tanduknya selalu disertai dengan pertimbangan-pertimbangan dan kebijaksanaan.
Untuk mencapai tahap batin ini tidaklah mudah tidak seperti kita mencapai tahap Sadewa dan Nakula. Kita perlu perjuangan berat untuk bisa mencapai batin seorang Arjuna sehingga dalam pewayangan dikisahkan tentang perjalanan Aijuna antara lain beristri banyak (srikandi, sembadra, larasati, dan drestanala), Srikandi berguru manah (panah) hingga Begawan ciptaning (Arjuna menjadi Begawan).
Selanjutnya marilah kita kupas satu persatu tentang kisah-kisah Arjuna yang tentunya ini mengandung tuntunan tersirat bagaimana agar kita bisa sampai pada posisi batin tahap Arjuna. Istri-istri Arjuna sesungguhnya bukanlah berwujud sebagai individu melainkan mengandung makna sikap batin yang harus dicapai sorang manusia dalam tahap ini.
Srikandi
Srikandi berasal dari dua kata Sri yang berarti baik dan Kandi yang berarti tempat atau wadah, maka tahap ini dapat diartikan bahwa kita harus bisa menjadikan diri kita penuh dengan kebaikan, baik sikap, pikiran, maupun tingkah laku.
Pada tahap ini dikisahkan Srikandi belajar memanah yang dapat diartikan bahwa untuk bisa bersikap, berpikir, dan berprilaku baik, kita sebagai manusia tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Banyak hal-hal yang perlu dipelajari dalam setiap kejadian yang kita alami, tidak hanya belajar dari teori. Kita harus mampu mengambil hikmah yang baik dari setiap kejadian yang telah kita alami meskipun hal itu tidak mengenakkan.
Merguru berarti belajar, manah berarti panah atau bisa juga berarti hati, sehingga kita memang harus melatih dan membelajari hati kita untuk bisa tepat membidik hikmah-hikmah yang baik dari setiap kejadian yang akhirnya nanti sikap ini secara otomatis akan melekat pada pribadi kita dan hal inilah yang membedakan pribadi kita dahulu yang masih bodoh, kasar, penuh amarah, nafsu angkara murka (yang merupakan sifat dan simbol dari Kurawa) menuju perubahan menjadi pribadi Pandawa.
Sembadra
Badra berarti halus. Setelah kita mampu mengambil hikmah-hikmah yang baik dari setiap kejadian selanjutnya kita tingkatkan kualitas batin kita menjadi batin yang mampu menerima, rela, sabar, serta ikhlas terhadap apa yang telah terjadi dalam hidup kita meskipun itu tidak menyenangkan.
Dengan membiasakan sikap ini maka batin kita lama – lama akan terbentuk menjadi batin yang halus yang tentunya juga akan mempengaruhi diri kita secara keseluruhan menjadi manusia yang berpribadi halus.
Larasati
Berasal dari dua kata. Laras yang berarti sesuai, Ati yang berarti hati, sehingga dapat diartikan sesuai dengan hati. Yang dimaksud hati disini adalah kesadaran ruhani yang benar yang berasal dari dalam diri manusia bukan dari panca indera yang terkadang membungkus batin kita dengan nafsu – nafsu angkara.
- Lakon Begawan Ciptoning
Begawan berarti manusia yang luhur dan tinggi spiritualnya. Cipta berarti pikiran. Ning berarti hening atau wening atau bening.
Maka dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi manusia yang mempunyai kesadaran spiritual yang tinggi, kita harus mempunyai pikiran yang jernih. Untuk mempunyai pikiran yang jernih kita harus sering bermeditasi ataupun berdzikir mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dalam pewayangan dikisahkan Arjuna bertapa di gunung Indrakila yang berarti kita sebagai manusia untuk masuk dalam tingkatan ini memang harus mengistirahatkan panca indera kita dengan jalan meditasi, tahalwat, semedi dan sejenisnya. Kita juga dapat melihat dari kisah-kisah nyata yang terdapat pada para nabi dan orang-orang terdahulu dimana mereka untuk mendapat pencerahan spiritual ataupun wahyu pasti mereka bertahalwat ataupun bermeditasi ditempat yang sunyi seperti di gua – gua ataupun di puncak – puncak gunung.
Setelah kita mendapat pencerahan ruhani maka batin kita akan semakin peka dan hidup serta sadar akan fitrah kita sebagai sesuatu yang hidup bersemayam dalam jasad ini yang suatu ketika akan kita tinggalkan, sehingga kemudian kita akan berpikir kemanakah kita selanjutnya setelah jasad ini tidak bisa kita pakai lagi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus mengenal Werkudara karena posisi batin Werkudaralah yang mampu sampai pada tingkatan tersebut.
Sebelum membahas Werkudara ada satu hal penting lain dalam tingkatan Arjuna dimana dialah penentu kemenangan dalam perang Bharata (Bharatayuda/ Brantayudha) bahkan dewa Wisnu yang menjelma sebagai Krisna hanya menjadi kusir kereta bagi Arjuna.
Kisah ini mengandung makna Wisnu yang merupakan simbol sifat ketuhanan yang melekat dalam diri manusia (ruh manusia adalah sebagian kecil dari ruh Tuhan yang ditiupkanNya) tetap terpengaruh oleh kebijaksanaan pribadi manusia dalam hal ini Arjuna dalam mengambil keputusan, sehingga memang benar bahwa manusia tidak boleh dalam setiap hal semata – mata memasrahkan hidupnya kepada takdir. Usaha dan ikhtiar adalah wajib.
Wisnu yang menjelma dalam Kresna hanya sebagai kusir yang pada saat genting memberikan wejangan dan tuntunan kepada Arjuna dalam bersikap (Baghawatgita/ Nyanyian atau Syiir Begawan). Manusia pada saat tertentu ketika panca indera telah mengacaukan ketenangan batin perlu bertanya kepada nuraninya.
Werkudara (Bima)
Werku berarti menahan, mengendalikan, atau mengatur dan udara berarti nafas. Werkudara dapat diartikan sebagai suatu proses pengendalian nafas. Atau pengendalian hidup karena inti dari hidup adalah nafas. Tingkatan ini sangat sulit dicapai dan hanya orang – orang tertentu yang diijinkan Tuhanlah yang mampu pada tahap ini.
Untuk mencapai tahap ini kita harus melalui berbagai macam proses seperti yang dikisahkan dalam lakon Dewaruci dan Begawan Bimo Suci. Dalam lakon Dewaruci dikisahkan bahwa Bima disuruh mencari banyu perwita sari (perwita suci) oleh resi Durna gurunya, dimana dia harus mencarinya di Alas Tribaksara, ia harus mengalahkan Reksasa Rukmuka dan Rukmukala.
Kemudian dia harus nyegur (masuk) samudera laya, mengalahkan naga raksasa dan terakhir bertemu dengan Dewaruci yang akhirnya mendapat wejangan tentang rahasia hidup.
filosofi wayang menuju sufiBanyu Perwitasuci atau Perwitasari atau Maui Hayat adalah sumber kehidupan yang berada dalam diri manusia yang merupakan sari atau sepercik dari yang Maha hidup.
Sebenarnya Air ini adalah ruh atau diri kita yang bersemayam dalam jasad. Untuk menemukan siapa diri kita, ada suatu proses yang dinamakan raga sukma yakni suatu keadaan dimana kita keluar dari jasad kita sebelum kita mati (out of body).
Ini memang merupakan suatu keadaan dimana dimasing – masing wilayah diseluruh dunia para spiritualis mempunyai cara sendiri – sendiri sesuai dengan ilmu yang diwariskan para leluhurnya.
Dalam masyarakat Jawa, Raga yang berarti tubuh dan Sukma yang berarti Ruh adalah proses keluarnya Ruh dari Jasad yang disengaja dengan laku tertentu, ada yang dengan tidur atau ada juga yang dengan duduk bersandar. Proses tersebut disimbolkan dengan urutan lakon dalam pewayangan yaitu:
- Babad Alas Tribaksara
Babad atau mbabad yang berarti memangkas, membuka Alas yang berarti hutan, Tri yang berarti tiga, Aksara yang merupakan bentuk
Sehingga dapat kita simpulkan suatu proses awal dalam raga sukma adalah membuka tiga aksara yakni cipta, rasa, dan karsa dimana kita harus menghancurkan atau mengalahkan dahulu raksasa Rukmuka dan Rukmukala sebagai simbol dari hawa nafsu yang membelenggu cipta, rasa, dan karsa manusia.
Rukmuka yang berarti wajah atau muka atau panca indera Rukmukala, (kala) yang berarti jeratan
Sehingga dapat diartikan bahwa semua yang datang dari panca indera dapat menjadi jeratan bagi cipta, rasa, dan karsa kita. Untuk itu kita perlu menghancurkan jeratan tersebut dengan proses semedi diam tanpa aktifitas apapun hanya pengaturan nafas yang halus.
- Nyegur Samuderalaya
Nyegur berarti masuk Samudera berarti lautan Laya berarti kematian.
Ini dapat diartikan suatu proses setelah pengaturan nafas dimana menuju perpisahan ruh dengan jasad atau keluarnya ruh dar jasad. Untuk mencapai perpisahan ini, meskipun panca indera kita telah tidak berfungsi saat meditasi, terkadang masih juga ada gangguan dalam alam batiniah kita berupa memori – memori yang mendadak muncul sehingga memulihkan kesadaran panca indera kita kembali.
Maka dalam lakon selanjutnya dikisahkan Bima harus bertarung melawan naga raksasa dalam samudera yang membelit tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Naga ini melambangkan darah yang mengalir dalam diri kita yang merupakan sumber hidup yang berarti juga hidupnya nafsu-nafsu harus kita jaga benar peredarannya ketika semedi.
Karena cepat pelannya perputaran darah sama dengan cepat lambatnya pengaturan nafas kita, semakin halus nafas kita semakin pelan juga darah kita mengalir yang berarti pula semakin masuk kita kedalam pribadi kita dan semakin hampir pula kita keluar dari jasad.
Setelah kita bisa sampai tahap ini maka kita tinggal menunggu rahmat dan ijin dari Tuhan, apabila memang sudah takdir kita maka proses selanjutnya adalah keluarnya kita dari jasad (kita bisa melihat jasad kita).
Dalam kisah selanjutnya diceritakan Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Dewa yang berarti simbol dari Tuhan dan Ruci yang berarti kecil. DewaRuci mempunyai makna sebagian kecil dari ruh Tuhan adalah Ruh kita, maka dikisahkan Dewa Ruci berbentuk mirip dengan Bima yang berarti bahwa kita telah keluar dari jasad dan bisa melihat jasad kita yang tentunya sama dengan ruh kita.
Selanjutnya Dewa Ruci memberikan wejangan tentang rahasia kehidupan, sama seperti apabila manusia sampai pada kondisi tersebut ia akan mendapat wejangan tentang kehidupan dimana hanya manusia itu sendiri yang tahu.
Itulah yang dinamakan banyu parwitasari, yang juga terkandung dalam kalimat “tapake kuntul ngalayang (jejak burung kuntul yang sedang terbang), galih kangkung (inti dari kangkung) dan susuhing angin (tempat bersarangnya angin)” dimana yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak nampak tetapi ada, itulah hidup atau ruh.
Lakon Bima Suci.
Setelah Bima bertemu Dewaruci dan ia kembali hidup normal menggunakan jasad maka Bima kemudian menjadi Begawan. Manusia yang telah mengalami proses ini. Pasti akan mengalami perubahan spriritual dan pandangan hidupnya dari sebelumnya, maka Bima mempunyai kerajaan yang dinamakan Jodhipati. Jodhi berarti berani.
Pati berarti mati, (berani mati karena pisahnya ruh dan jasad berarti mati meskipun belum saatnya dan akan kembali sebagai manusia biasa hingga batas waktu yang ditentukan).
Puntadewa
Adalah saudara tertua yang berarti juga tingkatan tertinggi atau manusia yang telah menjadi insan kamil atau khalifah Tuhan untuk alam ini yaitu manusia yang telah menduduki fungsinya sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lain sehingga ditunjuk Tuhan sebagai wakil yang memelihara alam ini. Puntadewa diceritakan berdarah putih dan raja yang tidak bermahkota.
Punta/ Punton berarti tali
Dewa simbol ketuhanan pada saat itu
Puntadewa dapat diartikan sebagai wakil dari Tuhan atau khalifah atau insan kamil, maka orang yang sangat dekat dengan Tuhannya disimbolkan berdarah putih (menjaga perbuatannya dari hal-hal yang tidak baik). Tidak bermahkota yang berarti tidak silau akan harta dan tahta duniawi.
2. Kurawa
Kurawa melambangkan keinginan – keinginan yang akhirnya melahirkan nafsu – nafsu dalam diri manusia. Keinginan yang sangat banyak dilambangkan dengan jumlah Kurawa yang mencapai 100 orang. Berbeda dengan Pandawa yang hanya 5 orang yang sebenarnya merupakan lambang dari tahapan – tahapan batiniah manusia.
3. Punakawan
Punakawan adalah rewang atau abdi yang selalu mengikuti Pandawa dan mempunyai peran yang sangat penting karena Pandawa apabila ditinggal punakawan pasti selalu mendapat masalah meskipun Pandawa sangat sakti, dekat dengan dewa, dan punakawan hanyalah abdi. Artinya manusia harus selalu disertai dengan sifat punakawan agar hidupnya tidak mudah terpengaruh dalam jalan yang salah.
Punakawan terdiri dari:
Semar; yang berarti samar yang bertugas momong atau mengasuh pribadi kita. Dalam kepercayaan jawa, juga dalam Al Quran disebutkan bahwa setiap manusia ada yang momong atau membimbing yang bersifat ghaib, maka Semar dilambangkan dengan laki-laki tetapi seperti perempuan, akan tetapi bukan banci, yang merupakan simbol dari sifat samar atau ghaib.
Semar mempunyai kuncung yang menghadap ke atas, yang merupakan simbol ketuhanan. Semar bersifat ghaib tetapi bukan Tuhan, dia hanya wakil Tuhan yang ghaib yang ditugaskan untuk ngemong atau membimbing setiap manusia.
Petruk; yang mempunyai makna papat (empat) ruh atau batin yakni ruhiah, siriah, nuriah, dan haluwiyah, maka digambarkan Petruk berhidung besar dan panjang dan dijuluki juga Petruk kantong bolong. Hidung besar dan panjang merupakan simbol manusia yang selalu berhati – hati dalam setiap nafasnya baik bersikap, berpikir, dan bertingkah laku.
Kantong bolong adalah simbol manusia sebagai tempat yang selalu kurang dari kesempurnaan, layaknya kantong yang bolong, yang tidak akan penuh ketika diisi. Kantong bolong melambangkan kedudukan manusia sebagai perantara.
Nala Gareng; Nala berarti hati. Gareng berarti kering. Nala Gareng adalah simbol dari sifat hati yang kering yang tidak berburuk sangka, selalu khusnudhon. Gareng di simbolkan mempunyai kaki yang pincang tangan yang ceko/ cacat dan mata juling artinya setiap akan melangkah manusia hendaklah menimbang terlebih dahulu seperti berhati – hatinya jalannya orang yang cacat.
Begitu juga ketika akan memberi dan menerima baik hal yang bersifat materi maupun spiritual harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati seperti geraknya tangan orang yang cacat. Mata juling adalah simbol penglihatan.
Manusia harus dengan cermat melihat dan menilai sesuatu karena terkadang apa yang terlihat tidak sesuai dengan fakta lahir (ada maksud dan tujuan yang tersembunyi) sehingga kita harus benar-benar cermat seperti melihatnya mata orang yang juling yang kadang tidak sesuai dengan arah yg dilihat.
Bagong; Adalah simbol sifat pemalas dan tidak akan berbuat jika tidak disuruh terlebih dahulu. Bagong merupakan gambaran sikap dari diri kita yang telah menjadi Pandawa yang akan melaksanakan sesuatu setelah benar-benar kita perhitungkan terlebih dahulu, maka apabila kita belum mendapatkan kemantapan terhadap suatu hal, kita belum akan melaksanakan hal tersebut.
4.Dewa – Dewa
Dewa – dewa dalam pewayangan melambangkan daya kelebihan (daya kaluwihan) yang dimiliki oleh seorang manusia yang telah berhasil mencapai laku dan pemahaman hidup Pandawa. Semua pengalaman baik yang baik maupun yang buruk akan diolah oleh daya cipta, rasa dan karsa menjadi suatu ilmu pengetahuan dan kebisaan. Cipta oleh Otak dan Akal, Rasa oleh Hati, Batin dan Ruh, sedangkan Karsa oleh bertindaknya Raga.
Sumber Penulis Ravie Ananda
Eksplorasi konten lain dari Kebumen24.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.