KEBUMEN, Kebumen24.com – Peniron merupakan desa di Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Desa Peniron berbatasan dengan sebelah Utara Kecamatan Karanggayam, Timur Kecamatan Karanggayam dan Kecamatan Karangsambung, Selatan Desa Kebagoran Barat Desa Kebagoran, Desa Pengaringan dan Desa Watulawang.
Secara Geografi Wilayah Desa Peniron terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian wilayah antara 60-400 meter diatas permukaan air laut (Mdpl). Dibagian tengah berupa dataran rendah bergelombang dengan aliran Sungai Cungkup yang berhulu di Bukit Paduraksa.
Dataran rendah tersebut hingga ke bantaran Sungai Luk Ulo yang merupakan sungai utama yang melintasi bagian timur Desa Peniron. Dataran tinggi berada di sebelah utara yang berupakan Perbukitan Brujul-Paduraksa dengan puncaknya yakni Bukit Brujul, Bukit Tugel dan Bukit Gandong.
Sungai-sungai yang berhulu di dataran tinggi ini adalah Sungai Cungkup, Sungai Kalisuci, Sungai Kalikeji, Sungai Kalisana, Sungai Kalipoh, Sungai Kalipancur. Sedangkan disebelah selatan terdapat punggungan Perbukitan Pranji dengan sungai-sungai yang mngalir diantaranya Sungai Klantang, Sungai Sibango, dan Sungai Kembang.
Menurut napak tilas sejarah, pada masa lampau Desa Peniron adalah sebuah belantara hutan lembah Sungai Luk Ula. Kemudian seorang ulama ksatria yang bernama Eyang Rohmanudin alias Mbah Kuwu membuka hutan dan menjadikan daerah pemukiman.
Mbah dimakamkan di Kompleks Pemakaman Umum Istana Gede yang terletak di Dukuh Krajan. Di kompleks pemakaman umum tersebut juga disemayamkan tokoh-tokoh pendahulu Peniron selain Eyang Rohmanudin, yaitu Mbah Pancur, Mbah Udadiwangsa dan Mbah Samikarya.
Disamping itu, sejarah juga mencatat pejuang-pejuang yang lainnya seperti Eyang Kuntiri, Eyang Ragil, Eyang Nayawedana sang penakluk jin yang membuka hutan menjadi daerah Kebokuning, serta Eyang Drapaita alias Mbah Pancur yang dengan menancapkan keris dan keluar air sehingga daerah Kalipancur terdapat mata air yang tak pernah kering.
Tak hanya itu, beberapa pejuang Desa Peniron lainnya yaitu Eyang Cakranom dan Eyang Guna Wijaya atau Eyang Astaguna atau Mbah Watupecah, seorang empu yang selalu mandi menggunakan api.
Menurut sejarah, Peniron pada masa lampau adalah sebuah belantara hutan lembah Sungai Luk Ula. Konon yang membuka hutan dan menjadikan daerah pemukiman adalah seorang ulama/ ksatria yang bernama Eyang Rohmanudin alias Mbah Kuwu.
Sayangnya, sampai akhir hayatnya, Eyang Rohmanudin tidak mempunyai keturunan. Jasadnya dimakamkan di Kompleks Pemakaman Umum Istana Gede yang terletak di dukuh Krajan, Peniron. Di kompleks pemakaman umum tersebut juga disemayamkan tokoh-tokoh pendahulu Peniron selain Eyang Rohmanudin, yaiyu Mbah Kalipancur, Mbah Udadiwangsa dan Mbah Samikarya.
Kisah berdirinya Peniron tak lepas dari sejarah berdirinya Kebumen atau disebut pula dengan Kebumian/Kabumian. Ki Bumi, seorang Senopati dari Mataram adalah pendiri desa di sekitar lembah sungai Luk Ula tersebut, selanjutnya nama desa itu dinamai sama dengan nama pembuka lahan, Ki-Bumi-an atau Ke-Bumi-an atau sekarang menjadi Kebumen. Seorang pengikutnya, yaitu Ki Badrayudha tinggal, di Peniron.
Disamping dia, sejarah Peniron juga mencatat pejuang-pejuang yang lain seperti Eyang Kuntiri, Eyang Ragil, Eyang Nayawedana sang penakluk jin dan membuka hutan menjadi daerah Kebokuning, serta Eyang Drapaita alias Mbah Kalipancur yang dengan menancapkan keris dan keluar air sehingga daerah Kalipancur terdapat mata air yang tak pernah kering.
Pejuang Peniron lainnya adalah Eyang Canakrom dan Eyang Guna Wijaya atau Eyang Astaguna atau Mbah Watupecah, seorang empu yang selalu mandi menggunakan api.
Sebenarnya, masih banyak lagi tokoh-tokoh dalam sejarah Peniron, tetapi yang mengherankan beberapa sumber sejarah tidak mau bercerita secara detail bahkan menutup diri untuk membuka cerita tokoh-tokoh yang konon memang sengaja dirahasiakan.
Situs Kali Pancur
Kali Pancur adalah sebuah nama dukuh yang berada di desa Peniron, kecamatan Pejagoan kabupaten Kebumen. Daerah ini dinamakan Kali Pancur karena adanya aliran mata air alami melalui jalur batuan hasil singkapan dalam bumi.
Aliran air ini membentuk sungai kecil yang khas dalam kategori air terjun. Singkapan batuan di Kali Pancur ada yang miring, adapula yang vertikal, sehingga apabila hujan turun, aliran air menjadi air terjun, sedangkan pada hari–hari biasa menjadi aliran mata air yang sangat jernih dan dimanfaatkan warga sebagai sumber air.
Legenda Kayu Wungu Kali Pancur
Di dukuh Kali Pancur terdapat sebuah pohon Wungu yang mempunyai legenda awal sebagai sebuah tongkat kayu yang ditancapkan. Konon dahulu kala ada seorang sesepuh di daerah tersebut (yang kemudian dikenal sebagai mbah Kali Pancur) yang sedang menyelenggarakan hajatan. Undangan dibagi menjadi dua, yakni bangsa manusia dan bangsa mahluk halus dari gunung Slamet.
Lokasi penyelenggaraan hajatan tersebut pun dibagi menjadi dua dengan dibatasi garis. Pada saat hajatan berlangsung, sang penyelenggara hajatan kekurangan air. Ia kemudian minta bantuan kepada para tamu mahluk halus dari Gunung Slamet untuk mencarikan air.
Karena air tidak kunjung, akhirnya Mbah Kali Pancur berdoa memohon kepada Yang Maha Kuasa seraya menancapkan tongkatnya yang terbuat dari kayu Kungu ke tanah. Seketika datanglah air mengalir dari atas melalui sela – sela batuan menuju ke bawah melewati sisi tongkat yang tertancap hingga ke tempat diselenggarakannya hajatan tersebut.
Air itu segara digunakan untuk keperluan hajatan. Tongkat kayu yang tertancap itu kemudian tumbuh menjadi pohon Wungu, sedangkan garis pembatas tempat antara tamu manusia dan tamu mahluk halus gunung Slamet, kini menjadi pembatas antara pemukiman warga dan bukit (hutan) yang dihuni berbagai macam mahluk halus. Hingga saat ini di dukuh Kali Pancur hanya dihuni oleh sekitar 13 keluarga saja.
Sejak dahulu kala air Kali Pancur yang sangat jernih dan bersih dikenal memiliki khasiat sebagai obat untuk penyembuhan berbagai macam penyakit. Selain itu, air yang lebih dikenal sebagai Banyu Penguripan Kali Pancur (air kehidupan Kali Pancur) itu dikenal memiliki daya spiritual yang tinggi sehingga sangat baik untuk membersihkan diri (mandi) para pelaku spiritual sebelum mereka melakukan tirakat atau menjalani ritual.
Kali pancur pun dikenal hingga ke berbagai daerah di luar Kebumen, terutama oleh para pelaku spiritual dan masyarakat pecinta pengobatan alternatif spiritual alami. Lokasinya yang masih alami di perbukitan sebelah barat sungai Luk Ula serta daya mistisnya energi tanah di Kali Pancur semakin menambah daya tarik tersendiri.
Kali Pancur sendiri merupakan daerah kuno. Hal ini bisa ditandai dengan adanya makam Mbah Kuwu. Kuwu adalah sebutan bagi kepala kampung pada era kerajaan Kuno Jawa.
Dari nama ini maka dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu di wilayah Kali Pancur telah ada sebuah pemerintahan tradisional dengan kepemimpinan seorang Kuwu. Meskipun sejarah kuno daerah Kali Pancur telah hilang dan sangat besar kemungkinan telah tertumpuk oleh sejarah baru yang sengaja diciptakan oleh yang berkepentingan pada masa itu.
Kali Pancur tetap memancakan daya spiritual dan magis yang tidak bisa ditutupi, terlebih daerah ini merupakan rangkaian alur dari situs singkapan Subduksi lempeng bumi purba, gunung api raksasa purba Karangsambung yang pada awalnya merupakan dasar samudera dalam dan sungai purba bawah laut Luk Ula yang mencuat menjadi daratan pada masa pra tersier. Sebuah daratan yang terbentuk dari dasar samudera ketika bumi masih remaja.
Dari sisi Pemerintahan
Pertama kali Desa Peniron dipimpin oleh Ki Udadiwangsa (1830-1870). Ia dimakamkan di Istana Gede.
Kedua, Desa Peniron dipimpin oleh Ki Ranareja (1870-1910), yang disebut-sebut sebagai Demang Pertama. Salah satu garis keturunan dari beliau adalah tokoh nasional yaitu Edi Nalapraya, seorang jenderal yang dulu pernah memimpin IPSI.
Ketiga, Desa Peniron dipimpin oleh Eyang Ketiwijaya (1910-1918). Beliau dimakamkan di Bulugantung.
Keempat, Desa Peniron dipimpin oleh Eyang Tirtawijaya (1918-1946). Beliau adalah putra Eyang Ketiwijaya dan dimakamkan di pemakaman Bulugantung.
Kelima, Desa Peniron dipimpin oleh Samikarya (1946-1985). Pada masa itu, Peniron adalah daerah Glondongan, yaitu sebuah desa koordinator bagi desa-desa sekitarnya, sehingga Pempimpin Desa waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Glondong. Dan Pada masa itu tidak ada batasan masa jabatan.
Setelah akhir masa jabatan Glondong Samikarya, Desa Peniron mulai dipimpin oleh seorang kepala desa dan diatur periode masa jabatannya. Kepala Desa Peniron yang keenam adalah H. Nursodik. Ia menjabat dua periode atau 16 tahun (1985-1994 dan 1994-2001).
Kepala Desa Peniron yang ketujuh adalah Triyono Adi yang menjabat sebagai Kelapa Desa selama dua periode (2002-2007 dan 2007-2013).
Kepala Desa Peniron yang kedelapan adalah Mustakim, S.Pd.I (2013-2019). Kepala Desa Peniron yang kesembilan kembali dipimpin oleh Triyono Adi (2019-2025).(K24/*).
Sumber :
https://peniron.kec-pejagoan.kebumenkab.go.id/
Eksplorasi konten lain dari Kebumen24.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.