KEBUMEN, Kebumen24.com – Grenggeng merupakan nama Desa yang berada di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Desa ini memiliki luas wilayah 440 Hektar jumlah penduduk sebanyak sekitar 6.688 jiwa.
Dilansir dari berbagai sumber sejarah, Desa Grenggeng terbentuk pada masa Syeh Baribin. Konon nama Grenggeng berasal dari suara ‘’Gumrenggeng’’ dzikir para santri Syeh Baribin.
Menuurut cerita sejarah, pembentukan Desa Grenggeng dimulai tahun 1924. Kala itu ada 6 Kepala Desa di sekitar Desa Kemit mengadakan pertemuan untuk membahas eksistensi dan kelangsungan hidup desa masing-masing di tengah besarnya cengkeraman kekuasaan kolonial belanda.
Masing-masing Desa tersebut diantaranya, Desa Kemit Udanegaran, Desa Kemit Keputihan, Desa Rowokawuk Udanegaran, Desa Setana Kunci, Desa Jrabang Keputihan dan Desa Bodeh. Ke enam desa ini merupakan titik langganan pertempuran melawan Belanda. Meski demikian pembentukan desa baru ini tidak serta-merta melalui proses frontal peperangan melawan Belanda.
Para pemimpin keenam desa mengajukan sebuah proposal pembentukan desa baru kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai pemegang kekuasaan Pemerintah Pusat. Proposal diterima dan disetujui oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, kemudian berdasar pada Inlandsche Gemeente Ordonnantie dalam Staatsblad 1906 No. 83 diubah dengan Staatsblad 1910 No. 591, Staatsblad 1913 No. 235, dan Staatsblad 1919 No. 2117.
Kemudian ini ditetapkan pembentukan Desa Grenggeng pada tanggal 16 Agustus 1924. Pemilihan Kepala Desa langsung dilakukan dengan sistem dodokan dan melahirkan pemimpin pertama yaitu R. Kartowiardjo dari Bodeh.
Pada masa itu, Desa Grenggeng berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Karanganyar atau Kecamatan Karanganyar pada saat ini (setelah pada tanggal 01 Januari 1936 oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dimasukkan menjadi salah satu Kecamatan dari Kabupaten Kebumen).
Wilayah dari Kabupaten Karanganyar berdasarkan laporan koran De Locomotief bertanggal 21 Maret 1874, meliputi, Kecamatan Karanganyar, Gombong, Sruweng, Pejagoan, Karanggayam, Klirong, Adimulyo, Petanahan, Kuwarasan, Buayan, Puring, Sempor, Ayah, Rowokele dan Tambak (Saat ini bagian dari Kabupaten Banyumas).
Sebelum disatukan dengan Kebumen Kabupaten Karanganyar sering disebut juga Kabupaten Kulon Kali (Lukulo) oleh masyarakat. Penghapusan Kabupaten Karanganyar pada kala itu menuai polemik keras dari pemangku jabatan, maupun rakyat di Karanganyar. Terlebih wilayah Karanganyar lebih luas dan kaya dari Kebumen.
Seperti dalam artikel Een Glorieus Regentegeslacht yang berisi sambutan Gubernur Jawa Tengah De Vos yang mengatakan bahwa garis kepemimpinan Aroeng Binang di Kebumen tidak bisa ganggu gugat oleh kekuatan manapun. Untuk itu Kebumen tidak dapat dihapuskan.
Selain itu, banyak hipotesis dari para sejarawan menyebut penghapusan ini banyak dipengaruhi unsur politik, mengingat Karanganyar menjadi basis perlawanan yang paling kuat terhadap Belanda di Jawa Tengah. Sejak Perang Jawa era Pangeran Diponegoro, juga banyak melahirkan tokoh-tokoh cerdas sekaligus progresif.
Bahkan salah satu Bupatinya yaitu R.A.A Tirtokoesoemo merupakan ketua pertama dari gerakan Boedi Oetomo. Kabupaten Karanganyar sebelum digabung dengan Kebumen merupakan kabupaten baru hasil pemindahan pusat ibukota Kabupaten yang sebelumnya bernama Roma Jatinegara dengan wilayah kekuasan yang sama pada tahun 1831.
Lamanya pembangunan ibukota baru tersebut memakan waktu sekitar 10 tahun hingga selesai pembangunannya pada tahun 1841. Kabupaten Roma dibentuk tahun 1500-an atas prakarsa Sultan Pajang dengan manggabungkan dua Kadipaten yaitu Pucang Kembar dan Kaleng.
Kadipaten Pucang Kembar saat itu dipimpin oleh Raden Jono dan Adipati Kaleng dijabat oleh Banyak Gumarang (keduanya merupakan murid Syeh Baribin semasa tinggal di Gunung Wulan).
Satu hal yang mungkin belum disadari banyak pihak adalah tidak satupun dari keenam desa-desa pembentuk tersebut ada yang bernama “Grenggeng”. Justru nama Grenggeng dipilih oleh para tokoh dan tetua desa pada masa dahulu dengan mempertimbangkan aspek potensi pariwisata yang ada.
Grenggeng sebenarnya adalah nama sebuah gunung di Desa Setana Kunci. Gunung Grenggeng memiliki keistimewaan karena di puncaknya terdapat sebuah makam seseorang yang sangat istimewa. Ia adalah Putra Prabu Brawijaya ke 5 yang bernama Syeh Baribin.
Syeh Baribin memiliki nama asli R. Joko Panular putra ke-78 Prabu Brawijaya. Kurun waktu di abad 14-15 saat Islam mulai menyebar di tanah Jawa, eksistensi Hindu di lingkungan Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran.
Bahkan putra-putra Prabu Brawijaya 5 sendiri termasuk Syeh Baribin hingga Raden Patah sudah memeluk Islam hingga akhirnya sang Prabu turut menjadi seorang Mualaf.
Bagaimana kisahnya Gunung itu memiliki nama Grenggeng? Singkat cerita, Syeh Baribin meninggalkan lingkungan istana untuk menjalani takdirnya dan mengembara. Beliau berpindah-pindah tempat ke arah barat untuk menyebarkan ajaran agama Islam hingga sampai di Gunung Wulan di wilayah Kabupaten Roma Jatinegara.
Di sana beliau memiliki beberapa murid diantaranya R. Jono, Banyak Cotro dan Banyak Gumarang. Waktu berlalu dan Syeh Baribin pergi ke Pajajaran dan berkeluarga.
Suatu ketika Syeh Baribin berpindah lagi lalu menetap di Desa Sikanco Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, kemudian meninggal dan dimakamkan di sana. Ketika masih tinggal di Gunung Wulan, beliau pernah berpesan kepada ketiga muridnya itu ‘’bahwa jika suatu hari ada orang meninggal dan jasadnya berbau harum maka itu adalah aku (Syeh Baribin)’’, kuburkanlah jasadnya di Gunung Wulan ini.
Suatu hari berita tentang jasad seorang ulama yang meninggal dan berbau harum di Desa Sikanco Kroya sampai ke telinga ketiga muridnya. Raden Adipati Jono sang murid yang saat itu menjabat sebagai Adipati Pucang Kembar mendengar pula berita itu dan meminta bantuan seseorang yang memiliki kesaktian untuk mengambil jasad itu dan membawanya ke Gunung Wulan.
Konon seorang sakti itu membawa jasad Syeh Baribin dari dalam tanah dan hingga kini lubang bekas pengambilan jasad itu masih ada di bekas makam Syeh Baribin di Sikanco. Masyarakat Desa Sikanco pun meyakini bahwa makam Syeh Baribin yang ada di sana sekarang hanya peninggalan. Sedangkan jasad Syeh Baribin sudah dimakamkan di Gunung Wulan.
Bahkan mereka tetap membiarkan bekas lubang yang menurut penuturan mereka juga tembus mengarah ke Gunung Wulan ini. Setelah sampai di Gunung Wulan jasad Syeh Baribin langsung dimakamkan oleh Raden Adipati Jono.
Seorang murid yang lain yaitu Banyak Gumarang mendengar bahwa Syeh Baribin sudah diambil dari Kroya ke Gunung Wulan dan menyusulnya. Ia ingin pula memakamkan Syeh Baribin di salah satu wilayah di kadipatennya yaitu Ayah.
Disini, ada perdebatan cukup sengit antara pihak Banyak Gumarang dan Raden Jono karena keinginannya itu. Raden Jono menegaskan kembali pesan Syeh Baribin sebelum wafat yang ingin jasadnya dimakamkan di Gunung Wulan.
Namun kemudian perdebatan itu berhasil diselesaikan dan Raden banyak Gumarang mendapat pengganti dari Raden Jono berupa sebuah batu bernama Batu Kalbut untuk diletakkan di Kadipaten Ayah sebagai pengingat sosok Syeh Baribin di wilayah itu.
Situs Batu Kalbut masih ada sampai sekarang. Suara dari perdebatan kedua belah pihak itulah yang didengar oleh warga sekitar Gunung Wulan secara samar-samar sepanjang malam.
Setelah selesai berdebat para santri dan pengikut kedua belah pihak kemudian melakukan dzikir bersama untuk mendoakan Syeh Baribin. Suara samar-samar itu terus terdengar ‘’Gumrenggeng’’ tanpa henti di telinga warga.
Hingga sejak malam itu Gunung Wulan berubah namanya dan mendapat julukan baru menjadi Gunung Grenggeng. Hari-hari selanjutnya suara gumrenggeng dzikir para santri Syeh Baribin terus terdengar, namun masyarakat belum berani untuk memeriksa apa yang terjadi di sana.
Setelah dirasa cukup berani untuk memeriksa, masyarakat mendapati ada sebuah makam di puncak gunung setelah kejadian itu dan menjuluki sosok yang dimakamkan itu sebagai Mbah Grenggeng.
Masyarakat sebelumnya belum mengenal betul siapa sebenarnya Syeh Baribin dan terlalu merasa sungkan untuk menanyakannya. Mereka hanya tahu beliau adalah seorang ulama besar berkharisma dengan banyak pengikut, murid dan santri yang tinggal di puncak gunung.
Identitas pasti dan asal-usul Syeh Baribin baru diketahui setelah Raden Gondokusumo atau yang kita kenal sebagai Patih Danureja ke-4 dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (dalam literature di luar keraton lebih dikenal sebagai Darureja ke-5) menemukan makamnya pada era Perang Diponegoro kurun waktu 1825-1830.
Beliau yang ketika itu berkedudukan sebagai senopati bersama sang pangeran bermarkas di sekitar wilayah Kemit dan Brangkal Klopogodo berhasil mengidentifikasi tanda-tanda khas yang terdapat pada bangunan makam. Hingga akhrinya didapatlah informasi tentang siapa sebenarnya sosok Syeh Baribin.
Catatan Patih Danurejo tersebut kemudian didokumentasikan dalam bentuk prasasti kayu yang dipasang di atas kusen pintu makam dan masih terpasang hingga saat ini. Kemudian dibukukan dalam kitab Babad Kerajaan Mataram milik Keraton Jogjakarta.
Sejak saat itu Gunung Grenggeng mulai ramai didatangi orang bahkan oleh utusan keraton untuk berziarah dan seiring waktu Raden Jono serta keturunan-keturunan Syeh Baribin dan Danureja dari Banyumas serta Putri R. Djayadiningrat Bupati Karanganyar (Kecamatan Karanganyar – Kebumen) pertama turut dimakamkan di sana.
Sampai saat ini Makam Syeh Baribin masih rutin mendapat kiriman uborampe (perlengkapan) ziarah makam-makam leluhur Mataram dari Keraton Nyagogyakarta Hadiningrat yang diantarkan oleh utusan Abdi Dalem Kawedanan Pengulon.
Gunung Grenggeng dan sekitarnya hingga wilayah Brangkal Desa Klopogodo Kecamatan Gombong juga merupakan tempat Pangeran Diponegoro (putra sulung Sultan Hamengkubuwono III) dan para santrinya mengatur strategi dalam peristiwa Perang Diponegoro.
Di sini terlihat kejelian para pendiri desa terdahulu dalam melihat potensi pariwisata yang ada di desa dengan kemudian memilih nama Grenggeng sebagai nama desa alih-alih memilih dari salah satu dari 6 nama desa yang ada. Jika nama lain yang dipilih mungkin tidak akan secepat nama Grenggeng untuk bisa dikenal orang sampai saat ini dan di masa selanjutnya.
Sebagaimana layaknya sebuah desa, sistem kepemimpinan dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat dengan pengawasan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Nama-nama calon kepala desa harus mendapat rekom persetujuan dari pemerintah kolonial melalui resident dan masing-masing kepala desa terpilih harus memiliki kesepakatan politik dengan pemerintah kolonial.
Pemilihan dilakukan dengan system “Dodokan”, dimana calon-calon kepala desa berdiri di sebuah pelataran kantor (rumah dinas) kepala desa dan pendukungnya akan berjongkok di depan calon yang dipilihnya.
Penghitungan dilakukan saat itu juga dan penetapan kepala desa terpilih juga ditentukan saat itu. Sistem rekom ini digunakan Belanda di seluruh tingkat pemerintahan masyarakat pribumi dari pemilihan kepala desa hingga tingkat raja-raja di nusantara karena itu merupakan strategi politik untuk memecah-belah masyarakat yang memiliki perbedaan pilihan calon pemimpin di kemudian hari.
Kepala Desa pertama terpilih adalah R. Kartowihardjo dari Desa Bodeh Kulon. Beliau menjabat sampai tahun 1936. 1 Januari 1936 Status Karanganyar sebagai Kabupaten dihapus dan dijadikan sebagai salah satu Kecamatan di Kabupaten Kebumen.
Berkenaan dengan itu pula Jabatan Kepala Desa Kartowiardjo kemudian diakhiri. Tidak dipungkiri Karanganyar merupakan basis besar perjuangan melawan penjajahan Belanda dan hal itu mempengaruhi sorotan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap gerak-gerik pemimpin-pemimpin desa di Kabupaten Karanganyar termasuk Kepala Desa Grenggeng pertama ini.
Perjuangan beliau melawan penjajahan bagaimanapun membuat para penjajah gelisah dan menginisiasi pemilihan Kepala Desa untuk periode selanjutnya segera setelah Kabupaten Karanganyar dihapuskan.
Kepala Desa kedua dijabat oleh Muhammad Djudi pada pemilihan tahun 1936 dan menjabat sampai kedatangan Jepang di tahun 1942. Periode ini pun peran Kepala Desa Grenggeng melawan penjajahan tak jauh berbeda.
Kelihaian politik para calon Kepala Desa berhasil memikat Pemerintah Kolonial sehingga mereka memberikan rekom terhadap nama-nama calon Kepala Desa yang diusulkan saat itu.
Muhammad Djudi yang juga dikenal sebagai penunggang kuda yang handal bahkan sampai menjadi kebiasaannya saat berdinas kelak berhasil memenangkan kontestasi pemilihan Kepala Desa Tahun 1936 sampai kalahnya Belanda oleh Jepang pada Perang Dunia II Tahun 1942.
Pada masa kolonial Belanda Kepala Desa sebenarnya tidak diatur lama masa jabatannya selama ia hidup kecuali ia diputus bersalah oleh pemerintah. Mengundurkan diri atau meninggal dan pejabat pemerintahan desa atau pamong merupakan kerabat dan orang-orang pilihan Kepala Desa yang mempunyai kecenderungan politik sama dengannya.
Tidak dipungkiri bahwa setiap pemimpin dan pejabat di wilayah kuasa kolonial mendapat fasilitas dan jaminan kehidupan yang cukup menguntungkan dari pemerintah kolonial. Rakyat biasa tidak akan berani mengajukan usul atau bahkan sekedar berkeluh kesah mengenai kondisi hidupnya. Mereka hanya bisa menuruti apa yang pemimpin mereka perintahkan.
Ketika Jepang datang pada tahun 1942 dan mengalahkan Belanda, sistem pemerintahan mengalami perubahan. Pada masa ini Pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No. 2 Tahun 1942 yang menyatakan bahwa kekuasaan Gubernur Jendral Belanda diambil alih oleh Pimpinan Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang.
Banyak terjadi pembelian dan perampasan tanah warga untuk kepentingan militer melalui pejabat-pejabat pemerintahan sehingga muncul istilah “Wong Mbiyen Nek Matoki Lemah Sekarepe”. Catatan kepemilikan tanah yang diterapkan di Desa Grenggeng sampai sekarang juga menggunakan pencatatan era pemerintah Jepang mulai tahun 1942.
Pemegang jabatan Kepala Desa Grenggeng tak luput dari perombakan sistem tersebut. Pada tahun itu juga, kembali dilakukan pemilihan kepala desa.
Kepala Desa terpilih periode penjajahan Jepang mulai 1942 adalah Prawiro Diharjo. Pada masa ini desa lebih difungsikan sebagai lumbung pangan dan penyedia tenaga kerja (Romusha) bagi kepentingan Pemerintah Jepang.
Kepala desa dipilih oleh Wedana. Masa jabatan Kepala Desa (Kucoo) diatur selama 4 tahun dan setelahnya tidak boleh menjabat lagi.
Setelah 3 tahun Jepang menjajah Indonesia, mereka kalah oleh sekutu pada Perang Dunia II dan pada 17 Agustus 1945 Indonesia mengambil momentum untuk menyatakan kemerdekaan melalui Proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno.
Indonesia di awal kemerdekaan fokus pada pembangunan moral kebangsaan nasional dan belum banyak merubah struktur kepemimpinan desa yang ada karena Indonesia harus menghadapi Militer Belanda yang datang lagi dan ingin menguasai kembali Nusantara. Kepemimpinan Kucoo Prawiro Diharjo berlanjut sampai habis masa tugasnya pada 1946.
Untuk pertama kalinya Desa Grenggeng melakukan pemilihan Kepala Desa tanpa campur tangan penjajah pada tahun 1946 dan melahirkan pemimpin bernama Medjowijono.
Pada masa kepemimpinan beliau, peristiwa pertempuran 120 tahun sebelumnya terulang dengan musuh dan lokasi yang sama. Pertempuran Perang Diponegoro 1825-1830 oleh Pangeran Diponegoro bersama para laskarnya melawan Belanda diulangi dengan pertempuran mempertahankan kemerdekaan oleh TKR dan laskar-laskar pejuang bambu runcing pada 1946-1948 melawan Belanda pula.
Ibukota Negara berpindah ke Keraton Jogjakarta di tahun pertama beliau menjabat kepala desa sebagai akibat dari serangan-serangan militer Belanda. Tanggal 24 Januari 1948 diadakan perundingan antara perwakilan TNI dan Militer Belanda difasilitasi oleh PBB melalui Komite Tiga Negara (KTN) di Kemit yang menetapkan Kali Kemit sebagai garis demarkasi Status Quo kedua negara sebagai tindak lanjut dilaksanakannya Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948.
Peristiwa-peristiwa itu dimuat dalam artikel koran Belanda Dagblad Voor Amersfort dan Die Zieeuwsh Dagblad. Menurut sumber tak tertulis, pada masa Agresi Militer Belanda II Presiden Soekarno beberapa kali mengunjungi garis Status Quo Kemit sekaligus berziarah ke Makam Syeh Baribin Grenggeng ditemani oleh Kyai Tubagus Masdar Sayuti dan Mbah Judin.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan mulai meninggalkan wilayah Indonesia. Setelah peristiwa-peristiwa tersebut Indonesia mulai menata dirinya sebagai negara muda yang berdaulat.
Tidak banyak perubahan yang berkaitan dengan system pemerintahan di desa terkait jabatan kepala desa yang membuat kepemimpinan Kepala Desa Medjowijono berlanjut sampai seumur hidupnya terlepas dari seluruh jasa-jasanya terhadap bumi pertiwi khususnya di Desa Grenggeng. Kepemimpinan Medjowijono berakhir pada tahun 1985.
Selepas masa jabatan Medjowijono tahun 1985 masa jabatan kepala desa sudah diatur Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yaitu maksimal selama 16 tahun yang terbagi dalam 2 periode masing-masing selama 8 tahun.
Slamet Priyanto HS terpilih sebagai kepala desa tahun 1985 dan menjabat sampai tahun 2002. Tahun 1999 Pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang mengatur jabatan kepala desa maksimal selama 10 tahun dalam 2 kali masa jabatan masung-masing selama 5 tahun untuk satu kali masa jabatan.
Pada pemilihan tahun 2002 Bambang Slamet Riyadi terpilih sebagai kepala desa untuk satu periode sampai 2007. Pada tahun 2004 Pemerintah kembali mengeluarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur masa jabatan kepala desa maksimal selama 12 tahun dalam 2 kali periode masing-masing selama 6 tahun untuk 1 periode.
Kepala Desa terpilih pada pemilihan tahun 2007 adalah Marsum yang menjabat selama 1 periode sampai 2013. Masih dalam regulasi yang sama, Kepala Desa terpilih berikutnya adalah Salim yang menjabat dari tahun 2013 sampai tahun 2019.
Tahun 2014 Pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa yang mengatur regulasi masa jabatan Kepala Desa maksimal 3 periode yang masing-masing berdurasi 6 tahun.
Kepala Desa terpilih periode ini adalah Eri Listiawan, S. Pd. I yang masih menjabat sejak tahun 2019 sampai saat ini dan akan habis masa periodenya pada 2025. Saat ini sedang ada wacana perubahan regulasi masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun untuk 1 periode.(K24/*).
Sumber : https://grenggeng.kec
Eksplorasi konten lain dari Kebumen24.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.